Minggu, 15 Juni 2008

BILA SIFAT MALU TIDAK BERFUNGSI

Bila Sifat Malu Tidak Berfungsi...

Biasa kita mendengar, lelaki diistilahkan sebagai kumbang dan wanita pula sebagai bunga. Kalau kumbang suka kepada bunga, lelaki tentulah suka kepada wanita. Sejak remaja lagi keinginan lelaki kepada wanita sudah berputik. Lalu wanita menjadi sasaran usikan lelaki, baik di sekolah, di jalan-jalan raya, di pasar raya, di perhentian bas dan bahkan boleh dikatakan di mana-mana ruang dan peluang. Selagi usikan itu tidak diberi perhatian oleh wanita itu mereka akan terus mencuba dan terus mencuba.

Apakah keistimewaan wanita sehingga begitu kuat menarik perhatian lelaki? Sememangnya wanita lain daripada lelaki, terdapat banyak kelainannya.

Dalam sebuah hadis, Nabi S.A.W bersabda yang bermaksud:
"Terdapat 99 bahagian tarikan pada wanita berbanding lelaki, lalu Allah kurniakan ke atas mereka sifat malu." (Hadis riwayat Baihaqi)

Wanita, apapun yang dilakukannya akan mendapat perhatian lelaki, kalau dia berbuat baik, dikagumi, apabila berbuat jahat diminati, apabila dia memakai pakaian menutup aurat dilihat menawan, apabila berpakaian tidak menutup aurat (seksi) dilihat menggoda, dan macam-macam lagi yang menarikperhatian.

Oleh sebab itu Allah S.W.T. mengurniakan kepada wanita sifat malu. Dengan sifat malu itu mereka akan berfikir panjang sebelum melakukan sebarang tindakan. Kalau hendak buat jahat dia akan memikirkan kalau-kalau orang nampak, hendak dedahkan aurat dia takut orang mengganggunya, hendak berjalan seorang dia takut ada orang mengusiknya.

Begitulah peranan malu yang boleh membantu dalam tindak-tanduk seorang wanita. Tapi apa halnya kalau tidak tahu malu ? Tentulah mereka tidak akan memikirkan semua itu. Pedulikan apa orang kata, pedulikan kalau orang tengok, tak kisah kalau orang mengganggu dan mengusik, bahkan mereka rasa senang, seronok dan bahagia bila dalam keadaan begitu.

Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi S.A.W. bersabda yang bermaksud: "Jika kamu tidak malu, buatlah sesuka hatimu."

Hadis ini merupakan sindiran dalam tegahan. Sifat malu itu adalah pokok akhlak yang mulia dan budi pekerti yang terpuji. Tidak payah diletakkan sifat malu ini di atas neraca akal pun sudah mengakui sebagai suatu sifat yang perlu ada pada diri manusia.

Barangkali wanita hari ini kebanyakkannya tidak malu atau kurang malu sebab itu mereka sanggup melakukan apa saja dosa dan maksiat.

Atau barangkali jika sifat malu yang dikurniakan Allah itu sudah tidak berfungsi sepenuhnya. Kalau demikian, bererti tiada iman di dada mereka.

Jelasnya, mereka tidak takut kepada Allah, tidak gerun kepada neraka Allah dan tidak cinta kepada syurga Allah. Mereka langsung tidak takut dengan hukuman yang bakal Allah timpakan ke atas mereka. Ini tandanya mereka tiada iman.

Apabila tidak beriman, maka sifat malu yang sedia ada itu secara automatik akan hilang. Inilah realiti yang tidak boleh dinafikan, buktinya boleh dilihat di mana-mana. Melalui media cetak seperti majalah Hai, Mangga, URTV dan sebagainya, media elektronik seperti rancangan-rancangan hiburan dan bahkan di hadapan mata kita sendiri berbagai ragam dan kemungkaran berlaku, tidak berkecuali dilakukan oleh wanita.

Sayang, wanita yang sepatutnya lebih istimewa daripada lelaki menjadi serendah-rendahnya hanya disebabkan sifat malunya tidak berfungsi sepenuhnya.

Tapi percayalah, kalau semua wanita boleh mengekalkan sifat malunya tentulah mereka akan berpakaian sopan, berakhlak mulia dan ketika itu mereka akan disegani oleh semua pihak. Dengan ini akan terhindarlah gejala buruk yang menimpa kaum wanita.

CINTA DALAM ISLAM

Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah
mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya.
Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung
dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di
atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas
pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu
mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya
itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di
telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari
perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih
berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi
semerbak.

Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya
Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece
bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang
mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair.
"Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut,
mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi
yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."

Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung
menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai
manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai
seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah
lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya
itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati?
Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri
ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya
Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya
menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah
majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta
manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta
kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada
sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya
adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia
ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah."

Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan
garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman
melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan
porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada
Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada
selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang
bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan
tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada
Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan
firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang
mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan
harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai
pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24). Subhanallah!

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan
sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta
seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah,
membaca Al Qur'an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan
mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya
melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa
berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk
berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud.
Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa
didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru
mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai
sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa
sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela
agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan
tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada
setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu
timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala
membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi,
qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya,
hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang
sempurna... Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta
memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia
keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta
dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu
seperti kasus sahabat saya tadi.

Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya.
Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya.
Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti
syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh
rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...

Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana
seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan
cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini
diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama
sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya
Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon,
akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah." Wallahua'lam
bish-showab.

Jumat, 18 April 2008

Haramkah Pacaran Itu.

Bagaimana pandangan Ibnu Qoyyim tentang hal ini ? Kata Ibnu Qoyyim, " Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta. Malah, cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan. Karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya. "

" Bohong !" Itulah pandangan mereka guna membela hawa nafsunya yang dimurkai Allah, yakni berpacaran. Karena mereka telah tersosialisasi dengan keadaan seperti ini, seolah-olah mengharuskan adanya pacaran dengan bercintaan secara haram. Bahkan lebih dari itu mereka berani mengikrarkan, bahwa cinta yang dilahirkan bersama dengan sang pacar adalah cinta suci dan bukan cinta birahi. Hal ini didengung-dengungkan, dipublikasikan dalam segala bentuk media, entah cetak maupun elektronika. Entah yang legal maupun ilegal. Padahal yang diistilahkan kesucian dalam islam adalah bukanlah semata-mata kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja. Lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan dan sekujur anggota tubuh, bahkan kesucian hati wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, zinanya hati adalah? membayangkan dan menghayal, zinannya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim. Dan pacaran adalah refleksi hubungan intim, dan merupakan ring empuk untuk memberi kesempatan terjadinya segala macam zina ini.

Rasulullah bersabda,

" Telah tertulis atas anak adam nasibnya dari hal zina. Akan bertemu dalam hidupnya, tak dapat tidak. Zinanya mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berkata, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah berjalan, zina hati adalah ingin dan berangan-angan. Dibenarkan hal ini oleh kelaminnya atau didustakannya."

Jika kita sejenak mau introspeksi diri dan mengkaji hadist ini dengan kepala dingin maka dapat dipastikan bahwa segala macam bentuk zina terjadi karena motivasi yang tinggi dari rasa tak pernah puas sebagai watak khas makhluk yang bernama manusia. Dan kapan saja, diman saja, perasaan tak pernah puas itu selalu memegang peranan. Seperti halnya dalam berpacaran ini.? Pacaran adalah sebuah proses ketidakpuasan yang terus berlanjut untuk sebuah pembuktian cinta. Kita lihat secara umum tahapan dalam pacaran.

-Perjumpaan pertama, yaitu perjumpan keduanya yang belum saling kenal. Kemudian berkenalan baik melalui perantara teman atau inisiatif sendiri. hasrat ingin berkenalan ini begitu menggebu karena dirasakan ada sifat2 yang menjadi sebab keduanya merasakan getaran yang lain dalam dada. Hubungan pun berlanjut, penilaian terhadap sang kenalan terasa begitu manis,????? pertama ia nilai dengan daya tarik fisik dan penampilannya, mata sebagai juri. Senyum pun mengiringi, kemudian tertegun akhirnya , akhirnya jantung berdebar, dan hati rindu menggelora. Pertanyaan yang timbul kemudaian adalah kata-kata pujian, kemudian ia tuliskan dalam buku diary, "Akankah ia mencintaiku." Bila bertemu ia akan pandang berlama-lama, ia akan puaskan rasa rindu dalam dadanya.

-Pengungkapan diri dan pertalian, disinilah tahap ucapan I Love You, "Aku mencintaimu". Si Juliet akan sebagai penjual akan menawarkan cintanya dengan rasa malu, dan sang Romeo akan membelinya dengan, "I LOve You". Jika Juliet diam dengan tersipu dan tertunduk malu, maka sang Romeo pun telah cukup mengerti dengan sikap itu. Kesepakatan? pun dibuat, ada ijin sang romeo untuk datang kerumah, "Apel Mingguan atau Wakuncar ". Kapan pun sang Romeo pengin datang maka pintu pun terbuka dan di sinilah mereka akan menumpahkan perasaan masing-masing, persoalanmu menjadi persoalannya, sedihmu menjadi sedihnya, sukamu menjadi riangnya, hatimu menjadi hatinya, bahkan jiwamu menjadi hidupnya. Sepakat pengin terus bersama, berjanji sehidup semati, berjanji sampai rumah tangga. Asyik dan syahdu.

-Pembuktian, inilah sebuah pengungkapan diri, rasa cinta yang menggelora pada sang kekasih seakan tak mampu untuk menolak ajakan sang kekasih. " buktikan cintamu sayangku". Hal ini menjadikan perasaan masing-masing saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan diantara keduanya. Bila sudah seperti ini ajakan ciuman bahkan bersenggama pun sulit untuk ditolak. Na'udzubillah

Begitulah akhirnya mereka berdua telah terjerumus dalam nafsu syahwat, tali-tali iblis telah mengikat. Mereka jadi terbiasa jalan berdua bergandengan tangan, canda gurau dengan cubit sayang, senyum tawa sambil bergelayutan,? dan cium sayang melepas abang. Kunjungan kesatu, kedua, ketiga, keseratus, keseribu, dan yang tinggal sekarang adalah suasana usang, bosan, dan menjenuhkan percintaan . Segalanya telah diberikan sang juliet, Juliet pun menuntut sang Romeo bertanggung jawab ? Ternyata sang romeo pergi tanpa pesan walaupun datang dengan kesan. Sungguh malang nasib Juliet.

Wahai para Muslimah sadarlah akan lamunan kalian , bayang-bayang cinta yang? suci, bukanlah dengan pacaran , cobalah pikirkan buat kamu muslimah yang masih bergelimang dengan pacaran atau kalian wahai pemuda yang suka gonta-ganti pacar. Cobalah jawab dengan hati jujur pertanyaan-pertanyaan berikut dan renungkan ! Kami tanya :

-Apakah kamu dapat berlaku jujur tentang hal adegan yang pernah kamu kamu lakukan waktu pacaran dengan si A,B,C s/d Z kepada calon pasangan yang akan menjadi istri atau suami kamu yang sesungguhnya ? Kalau tidak kenapa kamu berani mengatakan, pacaran merupakan suatu bentuk pengenalan kepribadian antara dua insan yang saling jatuh cinta dengan dilandasi sikap saling percaya ? Sedangkan kenapa kepada calon pasangan hidup kamu yang sesungguhnya kamu berdusta ? Bukankah sikap keterbukaan merupakan salah satu kunci terbinanya keluarga sakinah?

-Mengapa kamu pusing tujuh keliling untuk memutuskan seseorang menjadi pendamping hidupmu ? Apakah kamu takut mendapat pendamping yang setelah sekian kali pindah tangan ? " Aku ingin calon pendamping yang baik-baik" Kamu katakan seperti ini tapi mengapa kamu begitu gemar pacaran, hingga melahirkan korban baru yang siap pindah tangan dengan kondisi " Aku bukan calon pendamping yang baik" , bekas dari tanganmu, sungguh bekas tanganmu ?

-Jika kamu disuruh memilih diantara dua calon pasangan hidup kamu antara yang satu pernah pacaran dan yang satu begitu teguh memegang syari'at agama, yang mana yang akan kamu pilih ? Tentu yang teguh dalam memegangi agama, ya Khan ? Tapi kenapa kamu berpacaran dengan yang lain sementara kamu menginginkan pendamping yang bersih ?

-Bagaimana perasaan kamu jika mengetahui istri/ suami kamu sekarang punya nostalgia berpacaran yang sampai terjadi tidak suci lagi ? Tentu kecewa bukan kepalang. Tetapi mengapa sekarang kamu melakukan itu kepada orang yang itu akan menjadi pendamping hidup orang lain ?

-Kalaupun istri/suami kamu sekarang mau membuka mulut tentang nostalgia berpacaran sebelum menikah dengan kamu. Apakah kamu percaya jika dia bilang kala itu kami berdua hanya bicara biasa-biasa saja dan tidak saling bersentuhan tangan ? Kalau tidak kenapa ketika pacaran bersentuhan tangan dan berciuman kamu bilang sebagai bumbu penyedap ?

-Jika kamu nantinya sudah punya anak apakah rela punya anak yang telah ternoda ? Kalau tidak kenapa kamu tega menyeret Ortu kamu ke dalam neraka Api Allah ? Kamu tuntut mereka di hadapan Allah karena tidak melarang kamu berpacaran dan tidak menganjurkan kamu untuk segera menikah.

Karena itu wahai muslimah dan kalian para pemuda kembalilah ke fitrah semula. Fitrah yang telah menjadi sunattullah, tidak satupun yang lari daripadanya melainkan akan binasa dan hancur.

Inti dari pembahasan ini adalah PACARAN ITU HARAM dalam Islam

SIFAT MALU............

bila sifat malu tdk berfungsi...

Bila Sifat Malu Tidak Berfungsi...

Biasa kita mendengar, lelaki diistilahkan sebagai kumbang dan wanita pula sebagai bunga. Kalau kumbang suka kepada bunga, lelaki tentulah suka kepada wanita. Sejak remaja lagi keinginan lelaki kepada wanita sudah berputik. Lalu wanita menjadi sasaran usikan lelaki, baik di sekolah, di jalan-jalan raya, di pasar raya, di perhentian bas dan bahkan boleh dikatakan di mana-mana ruang dan peluang. Selagi usikan itu tidak diberi perhatian oleh wanita itu mereka akan terus mencuba dan terus mencuba.

Apakah keistimewaan wanita sehingga begitu kuat menarik perhatian lelaki? Sememangnya wanita lain daripada lelaki, terdapat banyak kelainannya.

Dalam sebuah hadis, Nabi S.A.W bersabda yang bermaksud:
"Terdapat 99 bahagian tarikan pada wanita berbanding lelaki, lalu Allah kurniakan ke atas mereka sifat malu." (Hadis riwayat Baihaqi)

Wanita, apapun yang dilakukannya akan mendapat perhatian lelaki, kalau dia berbuat baik, dikagumi, apabila berbuat jahat diminati, apabila dia memakai pakaian menutup aurat dilihat menawan, apabila berpakaian tidak menutup aurat (seksi) dilihat menggoda, dan macam-macam lagi yang menarikperhatian.

Oleh sebab itu Allah S.W.T. mengurniakan kepada wanita sifat malu. Dengan sifat malu itu mereka akan berfikir panjang sebelum melakukan sebarang tindakan. Kalau hendak buat jahat dia akan memikirkan kalau-kalau orang nampak, hendak dedahkan aurat dia takut orang mengganggunya, hendak berjalan seorang dia takut ada orang mengusiknya.

Begitulah peranan malu yang boleh membantu dalam tindak-tanduk seorang wanita. Tapi apa halnya kalau tidak tahu malu ? Tentulah mereka tidak akan memikirkan semua itu. Pedulikan apa orang kata, pedulikan kalau orang tengok, tak kisah kalau orang mengganggu dan mengusik, bahkan mereka rasa senang, seronok dan bahagia bila dalam keadaan begitu.

Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi S.A.W. bersabda yang bermaksud: "Jika kamu tidak malu, buatlah sesuka hatimu."

Hadis ini merupakan sindiran dalam tegahan. Sifat malu itu adalah pokok akhlak yang mulia dan budi pekerti yang terpuji. Tidak payah diletakkan sifat malu ini di atas neraca akal pun sudah mengakui sebagai suatu sifat yang perlu ada pada diri manusia.

Barangkali wanita hari ini kebanyakkannya tidak malu atau kurang malu sebab itu mereka sanggup melakukan apa saja dosa dan maksiat.

Atau barangkali jika sifat malu yang dikurniakan Allah itu sudah tidak berfungsi sepenuhnya. Kalau demikian, bererti tiada iman di dada mereka.

Jelasnya, mereka tidak takut kepada Allah, tidak gerun kepada neraka Allah dan tidak cinta kepada syurga Allah. Mereka langsung tidak takut dengan hukuman yang bakal Allah timpakan ke atas mereka. Ini tandanya mereka tiada iman.

Apabila tidak beriman, maka sifat malu yang sedia ada itu secara automatik akan hilang. Inilah realiti yang tidak boleh dinafikan, buktinya boleh dilihat di mana-mana. Melalui media cetak seperti majalah Hai, Mangga, URTV dan sebagainya, media elektronik seperti rancangan-rancangan hiburan dan bahkan di hadapan mata kita sendiri berbagai ragam dan kemungkaran berlaku, tidak berkecuali dilakukan oleh wanita.

Sayang, wanita yang sepatutnya lebih istimewa daripada lelaki menjadi serendah-rendahnya hanya disebabkan sifat malunya tidak berfungsi sepenuhnya.

Tapi percayalah, kalau semua wanita boleh mengekalkan sifat malunya tentulah mereka akan berpakaian sopan, berakhlak mulia dan ketika itu mereka akan disegani oleh semua pihak. Dengan ini akan terhindarlah gejala buruk yang menimpa kaum wanita.

CINTA................................

cinta menurut pandangan islam

Cinta Menurut Pandangan Islam

“..Ya Allah Engkau Tuhanku.. Tiada tuhan melainkan Engkau.. Engkau cinta agungku.. Nabi Muhammad pesuruhMu..”

Muqaddimah

Bait-bait nasyid kumpulan Quturunnada di atas sering mengingatkan kita kepada hakikat cinta yang sebenar. Bagi saya sendiri, makna serta irama yang dibawa oleh Qutrunnada ini benar-benar menyentuh jiwa apatah lagi di tengah-tengah kerancakan irama nasyid ala-KRU yang mewarnai dunia nasyid pada masa sekarang.

Berbicara mengenai cinta, tentunya tidak akan lepas dari perbincangan kita cinta monyet yang menghiasai dunia muda-mudi sekarang ini. Malah, tidak keterlaluan untuk dinyatakan, itulah pespektif masyarakat terhadap cinta. Sedangkan cinta sebeginilah yang sering mendorong pelakunya ke arah melakukan maksiat kepada Allah SWT. Sekotor itukah cinta?

Apakah cinta sebenarnya? Cinta sebenarnya menepati satu angka perangkaan fitrah manusia. Tanpa nilai cinta yang berdefinisi sebagai cetusan rasa dari orbit naluri ke arah mengenali satu objek dengan penghayatan hakikat dan kewujudannya akan membantutkan tumbesar manusia.
Kesenian cinta yang didasari runtutan fitrah tanpa dicabul oleh hawa syahwat merupakan logo kedamaian, keamanan dan ketenangan. Namun cinta seringkali diperalatkan untuk melangsai keghairahan nafsu dan kebejatan iblis laknatullah. Demi kemakmuran manusia sejagat, kita mesti menangani fenomena cinta dengan nilai fikrah yang suci dan iman yang komited kepada Allah.

Permasalahan cinta antara yang dihadapi secara serius oleh umat Islam hari ini. Pertembungan antara cinta hakiki dan cinta palsu menyebabkan umat Islam menghadapi dilema perasaan yang kronik. Krisis cinta palsu telah memapah umat Islam ke medan pertembungan yang memusnahkan etika spritual-membunuh solidariti dan menodai sosial.

Individu mukmin sewajarnya peka terhadap kehadiran cinta di dalam jiwa. Cinta yang berlogikkan nafsu dan syahwat semata-mata hanyalah cinta palsu yang penuh jijik dan dihina. Menyedari hakikat ini, saya mencuba untuk menggagahkan diri bercerita soal cinta secara ringkas menurut pandangan Islam. Apatah lagi dalam suasana masyarakat remaja khususnya tertipu dengan propaganda 14 Februari yang kononnya ialah hari Kekasih. Maka sibuklah dunia berbicara soal cinta yang lebih menjurus kepada cinta karut-marut yang bertemakan mainan perasaan yang sama sekali terseleweng dari kehendak Islam.

Semoga Allah memberikan ganjaran terhadap usaha yang kecil ini dalam membersihkan jiwa pemuda-pemuda dari sebarang permainan perasaan yang hanya akan menyesatkan fikiran. Apakah Kedudukan Cinta Di Dalam Islam?

Adakah Islam memusuhi cinta? Adakah sebegini kejam sebuah agama yang disifatkan menepati fitrah? Sebenarnya tidak. Malah Islam memandang tinggi persoalan cinta yang tentunya merupakan perasaan dan fitrah yang menjiwai naluri setiap manusia. Namun, cinta di dalam Islam perlulah melalui pelbagai peringkat keutamaannya yang tersendiri :

1. Cinta kepada AllahIslam meletakkan cinta yang tertinggi dalam kehiudupan manusia ialah cinta kepada Allah. Ketinggian nilai taqarrub Al-Abid kepada Khaliq dapat dikesan melalui cinta murni mereka kepada Pencipta. Tanpa cinta kepada Allah perlakuan hamba tidak memberi pulangan yang bererti sedangkan apa yang menjadi tunjang kepada Islam ialah mengenali dan dan menyintai Allah. Sinaran cinta itu jua akan mendorong hamba bertindak ikhlas di mihrab pengabdian diri kepada Allah serta menghasilkan cahaya iman yang mantap.

Firman Allah SWT :“..(Walaupun demikian), ada juga di antara manusia yang mengambil selain dari Allah (untuk menjadi) sekutu-sekutu (Allah), mereka mencintainya, (memuja dan mentaatinya) sebagaimana mereka mencintai Allah; sedang orang-orang yang beriman itu lebih cinta (taat) kepada Allah...” (Surah Al-Baqarah ayat : 165)

Memiliki cinta Allah seharusnya menjadi kebanggaan individu mukmin lantaran keagungan nilai dan ketulusan ihsan-Nya.Namun menjadi suatu kesukaran untuk meraih cinta Allah tanpa pengabdian yang menjurus tepat kepada-Nya. Cinta Allah umpama satu anugerah yang tertinggi dan tidak mungkin sesiapa dapat memilikinya kecuali didahulukan dengan pengorbanan yang mahal. Cinta Allah adalah syarat yang utama untuk meletakkan diri di dalam barisan pejuang-pejuang kalimah Allah SWT.

Firman Allah SWT (yang bermaksud) :“..Wahai orang-orang yang beriman! Sesiapa di antara kamu berpaling tadah dari ugamanya (jadi murtad), maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Ia kasihkan mereka dan mereka juga kasihkan Dia; mereka pula bersifat lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan berlaku tegas gagah terhadap orang-orang kafir...” (Surah Al-Maidah, ayat 54)

2. Cinta Kepada Rasulullah SAW dan para anbiya’Apabila manusia berada di dalam kegelapan yang begitu kelam,maka diutuskan pembawa obor yang begitu terang untuk disuluhkan kepada manusia ke arah jalan kebenaran. Sayang, pembawa obor tersebut terpaksa begelumang dengan lumpur yang begitu tebal dan menahan cacian yang tidak sedikit untuk melaksanakan tugas yang begitu mulia.Pembawa obor tersebut ialah Rasulullah SAW. Maka adalah menjadi satu kewajipan kepada kepada setiap yang mengaku dirinya sebagai muslim memberikan cintanya kepada Rasulullah dan para ambiya’. Kerana kecintaan inilah, para sahabat sanggup bergadai nyawa menjadikan tubuh masing-masing sebagai perisai demi mempertahankan Rasulullah SAW.

Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebut :Diriwayatkan daripada Anas r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Tiga perkara, jika terdapat di dalam diri seseorang maka dengan perkara itulah dia akan memperolehi kemanisan iman: Seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya lebih daripada selain keduanya, mencintai seorang hanya kerana Allah, tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia juga tidak suka dicampakkan ke dalam Neraka.(Bukhari : no. 15, Muslim : no. 60, Tirmizi : no. 2548 Nasaie : no. 4901)

Namun, dalam suasana kita sekarang yang begitu jauh dengan Rasulullah SAW dari segi masa, adakah tidak berpeluang lagi untuk kita memberikan cinta kepada Rasulullah SAW? Sekalipun Rasulullah SAW telah meninggalkan kita jauh di belakang, sesungguhnya cinta terhadap baginda boleh dbuktikan melalui kepatuhan serta kecintaan terhadap sunnahnya. Oleh yang demikian, orang yang memandang hina malah mengejek-ngejek sunnah Rasulullah SAW tentunya tidak boleh dianggap sebagai orang yang menyintai Rasulullah SAW.

3. Cinta Sesama MukminInteraksi kasih sayang sesama mukmin adalah merupakan pembuluh utama untuk menyalurkan konsep persaudaraan yang begitu utuh. Cinta sesama mukmin inilah yang mengajar manusia supaya menyintai ibubapanya. Malah mengherdik ibubapa yang bererti merungkaikan talian cinta kepada keduana adalah merupakan dosa besar sebagaimana yang disebut di dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah r.a katanya:“Ketika kami bersama Rasulullah s.a.w, baginda telah bersabda: Mahukah aku ceritakan kepada kamu sebesar-besar dosa besar: Ianya tiga perkara, iaitu mensyirikkan Allah, mengherdik kedua ibu bapa dan bersaksi palsu atau kata-kata palsu..”(Hadis riwayat Bukhari, no. 5519, Muslim : no. 126)

Alangkah indahnya sebuah agama yang mengajar penganutnya agar menghormati dan menyintai kedua ibubapanya yang telah melalui susah payah untuk membesarkan anak-anak mereka. Di manakah lagi keindahan yang lebih menyerlah selain daripada yang terdapat di dalam Islam yang mengajar umatnya dengan pesanan :“..Dan hendaklah engkau merendah diri kepada keduanya kerana belas kasihan dan kasih sayangmu, dan doakanlah (untuk mereka, dengan berkata): "Wahai Tuhanku! Cucurilah rahmat kepada mereka berdua sebagaimana mereka telah mencurahkan kasih sayangnya memelihara dan mendidikku semasa kecil."(Surah Israk, ayat 24)

Selain daripada cinta kepada kedua ibubapa ini, Islam juga meletakkan cinta sesama mukmin yang berimana sebagai syarat kepada sebuah perkumpulan atau jemaah yang layak bersama Rasulullah SAW. Hayatilah betapa dalamnya maksud firman Allah SWT :“..Nabi Muhammad (s.a.w) ialah Rasul Allah; dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaiknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan kasihan sesama sendiri (umat Islam)...(Surah Al-Fath, ayat 29)

Malah, Al-Quran sendiri menukilkan betapa pujian melangit yang diberikan oleh Allah SWT kepada golongan Ansar yang ternyata menyintai golongan Muhajirin dengan cinta suci yang berasaskan wahyu Ilahi. Malah dalam keadaan mereka berhajat sekalipun, keutamaan tetap diberikan kepada saudara-saudara mereka dari golongn Muhajirin. Firman Allah SWT yang bermaksud :“..Dan orang-orang (Ansar) yang mendiami negeri (Madinah) serta beriman sebelum mereka, mengasihi orang-orang yang berhijrah ke negeri mereka, dan tidak ada pula dalam hati mereka perasaan berhajatkan apa yang telah diberi kepada orang-orang yang berhijrah itu; dan mereka juga mengutamakan orang-orang yang berhijrah itu lebih daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan kekurangan dan amat berhajat. ..”(Surah Al-Hasyr, ayat 9)

Bukankah ini yang telah diajar oleh Islam? Maka di tengah-tengah kecaman keganasan yang dilemparkan kepada Islam pada hari ini, kenapa tidak masyarakat antarabangsa malah umat Islam sendiri melihat bahawa betapa agungnya unsur kasih sayang dan cinta yang terdapat di dalam Islam? Namun, betapa agungnya cinta di dalam Islam, begitu jualah agungnya penjagaan Islam sendiri terhadap umatnya agar sama sekali tidak mencemarkan kesucian cinta dengan kekotoran nafsu.Itulah cinta di dalam Islam. Ia tidak dapat tidak haruslah diasaskan di atas dasar keimanan kepada Allah. Alangkah ruginya cinta yang lari dari landasan iman. Akan hanyutlah jiwa-jiwa yang menyedekahkan dirinya untuk diperlakukan oleh ‘syaitan cinta’ sewenangnya-wenangnya Cinta Dunia Remaja : Tragedi Yang Menyayat HatiTidak ada orang yang boleh mendakwa dirinya lari daripada mainan perasaan. Asal saja ia bernama manusia, maka sekaligus dirinya akan dicuba dengan mainan nafsu yang bagaikan lautan ganas yang begitu kuat bergelombang. Salah satu darinya ialah mainan cinta.

Tidak sedikit orang yang rebah kerana cubaan ini. Dalam berbicara persoalan peringkat pembinaan ‘cinta lutong’, As-Syauqi pernah bermadah :Benar kata Syauqi, cinta lutong ini bermula dengan mainan mata yang tidak mempunyai sempadannya, ia kemudiannya diikuti dengan sahutan suara dan saling berhubung. Sampai peringkat tersebut, amat sukar sekali bagi pasangan cinta untuk tidak bertemu dan berdating sekaligus mendedahkan diri kepada aksi yang lebih hebat. Oleh kerana itulah, Islam dalam menjaga kesucian cinta dari dicemari oleh unsur-unsur nafsu meletakkan batasan pandangan seorang muslim dan muslimah.

Firman Allah SWT yang bermaksud :“..Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka; sesungguhnya Allah Amat Mendalam PengetahuanNya tentang apa yang mereka kerjakan...”(Surah An-Nuur, ayat 30)

Betapa bahayanya cinta lutong ini boleh dilihat apabila pasangan yang dhanyutkan olehnya tidak akan berupaya untuk berfikir secara waras lagi. Setiap detik dan masa yang berlalu tidak akan sunyi dari memikirkan persoalan cinta mereka. Setiap saat, jiwa sudah tidak mampu lagi untuk tenteram sekiranya tidak didodoikan dengan suara halus dan lunak yang berbicara dengan kata-kata yang hanya layak diperdengarkan di dalam kelambu. Sudah berkubur cita-cita perjuangan dan sudah lebur harapan masyarakat yang dipikulkan di atas bahu, yang ada hanyalah kehendak memuaskan hati pasangan masing-masing. Lantas, di saat demikian, layakkah orang yang hanyut ini diharapkan memikul tanggungjawab melaksanakan tugas penting membimbing masyarakat?Apakah penyelesaian terhadap permasalahan ini? Jalan yang paling baik ialah perkahwinan.

Rasulullah SAW pernah bersabda yang bermaksud :“..Wahai golongan pemuda! Sesiapa di antara kamu yang telah mempunyai keupayaan iaitu zahir dan batin untuk berkahwin, maka hendaklah dia berkahwin. Sesungguhnya perkahwinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Maka sesiapa yang tidak berkemampuan, hendaklah dia berpuasa kerana puasa itu dapat mengawal iaitu benteng nafsu..”(Bukhari : no. 1772, Muslim : no. 2485)

Selain daripada perkahwinan yang tentunya merupakan perkara yang hampir mustahil untuk dilaksanakan dalam dunia seorang penuntut ilmu, maka Rasulullah SAW mencadangkan puasa sebagai jalan terbaik melepaskan diri dari kekangan nafsu yang meronta-ronta. Selain daripada itu, Islam sama-sekali tidak membuka pintu yang lain.

Selain daripada perkahwinan, tidak dapat tidak, hanyalah kawalan terhadap jiwa mampu menyelamatkan diri sendiri dari turut terjun dalam arus ganas cinta lutong.Sesungguhnya cinta sebelum perkahwinan adalah cinta palsu yang walaupun dihiasi dengan rayuan-rayuan halus namun ia adalah panggilan-panggilan ke lembah kebinasaan! Dan sekalipun kekosongan jiwa daripada cinta lutong secara zahirnya adalah penderitaan dan kesunyian yang begitu hebat, namun itulah hakikat cinta sejati kepada Allah. Andainya hati dihiasi dengan rayuan-rayuan syaitan yang seringkali mengajak ke arah melayan perasaan, maka hilanglah di sana cita-cita agung untuk menabur bakti kepada Islam sebagai medan jihad dan perjuangan.Percayalah, masa muda yang dianugerahkan oleh Allah hanyalah sekali berlalu dalam hidup. Ia tidak akan berulang lagi untuk kali kedua atau seterusnya. Meniti usia remaja dengan berhati-hati dan mengenepikan mainan perasaan adalah merupakan perkara yang amat sukar sekali. Apatah lagi, semakin dihambat usikan perasaan, semakin ia datang mencengkam dan membara. Namun, itulah mujahadah melawan perasaan. Sekadar perasaan dan diri sendiri menjadi musuh, alangkah malunya untuk kita tewas terlalu awal. Usia emas yang diberikan ini alangkah baiknya andainya digunakan sebaik mungkin menggali sebanyak mana anugerah di bumi ilmu.Namun, kita manusia boleh tertewas bila-bila masa sahaja. Tidak kira siapapun kita. Sekalipun kita arif malah benar-benar mengetahui bahawa yang hadir hanyalah sekadar tipuan, namun kita bisa rebah dalam ketewasan yang kita sendiri sebenarnya merelakannya.Oleh yang demikian, apakah yang akan menyelamatkan selain keimanan, ketakwaan dan kecekalan?

Tafsir Al Fatihah

Tafsir Al Fatihah

Surah 1

AL-FATIHAH

Diturunkan : Sebelum Hijrah

Ayatnya : 7, dengan bismillah

Rukunya : 1.

Tempat dan Waktu Diturunkan

Seperti diriwayatkan oleh banyak ahli ilmu hadits seluruh Surah ini diwahyukan di Mekkah dan sejak awal menjadi bagian shalat orang-orang Islam. Surah ini disebut dalam ayat Al Qur’an, “Dan sesungguhnya telah kami Berikan kepada engkau tujuh ayat yang selalu diulang-ulang, dan Al Qur’an yang agung” (15 : 88). Ayat itu, menurut pengakuan para ahli telah diwahyukan di Mekkah. Menurut beberapa riwayat, Surah ini diwahyukan pula untuk kedua kalinya di Medinah. Tetapi, waktunya surah ini untuk pertama kali turun, dapat ditempatkan pada masa permulaan sekali kenabian Rasulullah s.a.w.



Nama-nama Surah dan Artinya

Nama terkenal untuk Surah pendek ini ialah Fatihat-ul-Kitab (Surah Pembukaan Al-Kitab), diriwayatkan bersumber pada beberapa ahli ilmu hadits yang terpercaya (Tirmidzi dan Muslim). Kemudian nama itu disingkat menjadi Surah Al-Fatihah atau Al-Fatihah saja. Surah ini dikenal dengan beberapa nama dan sepuluh nama berikut ini lebih sah, ialah : Al-Fatihah, Ash-Shalat, Al-Hamd, Umm-ul-Quran, Alquran-ul-‘Adzim, As-Sab’al-Matsani, Umm-ul Kitab, Asy-Syifa, Ar-Ruqyah, dan Al-Kanz. Nama-nama ini menerangkan betapa luasnya isi Surah ini.

Nama Fatihat-ul-Kitab (Surah Pembukaan Al-Kitab) berarti bahwa, karena Surah ini telah diletakkan pada Permulaan, ia merupakan kunci pembuka seluruh pokok masalah Al Qur’an. Ash-Shalat (Shalat) berarti Al-Fatihah merupakan doa yang lengkap lagi sempurna dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari shalat Islam yang sudah melembaga. Al-Hamd (Puji-pujian) berarti bahwa Surah ini menjelaskan tujuan agung kejadian manusia dan mengajarkan bahwa hubungan Tuhan dengan manusia adalah hubungan berdasarkan kemurahan dan kasih-sayang. Umm-ul-Qur’an (Ibu Al Qur’an) berarti bahwa Surah ini merupakan intisari seluruh Al Qur’an, yang dengan ringkas mengemukakan semua pengetahuan yang menyangkut perkembangan akhlak dan kerohanian manusia. Al Qur’an-ul-‘Azhim (Al Qur’an Agung) berarti bahwa meskipun Surah ini terkenal sebagai Umm-ul-Kitab dan Umm-ul-Qur’an, namun tetap merupakan bagian Kitab Suci itu dan bukan seperti anggapan sementara orang, bahwa ia terpisah darinya. As-Sab’ul-Matsani (Tujuh ayat yang sering diulang) berarti, ketujuh ayat pendek Surah ini, sungguh-sungguh memenuhi segala keperluan rohani manusia. Nama itu berarti pula bahwa, Surah ini harus diulang dalam tiap-tiap rakaat shalat. Umm-ul-Kitab (Ibu Kitab) berarti bahwa doa dalam Surah ini, menjadi sebab diwahyukannya ajaran Al-Qur’an. Asy-Syifa (Penyembuh) berarti bahwa surah ini, memberi pengobatan terhadap segala keraguan dan syak yang biasa timbul dalam hati manusia. Ar-Ruqyah (Jimat atau Mantra) berarti bahwa Surah ini bukan hanya doa untuk menghilangkan penyakit, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap syaitan dan pengikut-pengikutnya, dan menguatkan hati manusia untuk melawan mereka. Al-Khanz (Khazanah) mengandung arti bahwa Surah ini merupakan suatu khazanah ilmu yang tiada habis-habisnya.



Al-Fatihah Dinubuatkan dalam Perjanjian Baru

Tetapi, nama yang terkenal untuk Surah ini adalah Al-Fatihah. Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa nama itu juga tercantum pada nubuatan Perjanjian Baru.

“Maka aku tampak seorang malaikat lain yang gagah, turun dari langit … dan ditangannya ada sebuah kitab kecil yang terbuka; maka kaki kanannya berpijak di laut, dan kaki kirinya di darat” (Wahyu 10:1-2).

Kata dalam bahasa Ibrani untuk “terbuka” ialah Fatoah yang sama dengan kata dalam bahasa Arab Fatihah. Dan juga :

“… dan tatkala ia (malaikat) berteriak, ketujuh guruhpun membunyikan bunyi masing-masing” (Wahyu 10:3)

“Tujuh Guruh” mengisyaratkan kepada tujuh ayat Surah ini.



Para sarjana Kristen mengatakan bahwa nubuatan itu mengisyaratkan kepada kedatangan Yesus Kristus kedua kalinya. Hal itu telah dibuktikan oleh kenyataan-kenyataan yang sebenarnya. Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang dalam wujudnya nubuatan tentang kedatangan Nabi Isa a.s. kedua kalinya telah menjadi sempurna, menulis tafsir mengenai surah ini dan menunjukkan bukti-bukti dan dalil-dalil tentang kebenaran da’wanya dari isi Surah ini dan beliau senantiasa memakainya sebagai doa yang baku. Beliau menyimpulkan dari tujuh ayat yang pendek ini, ilmu-ilmu makrifat Ilahi dan kebenaran-kebenaran kekal abadi yang tidak diketahui sebelumnya. Seolah-olah surah ini sebuah kitab yang dimeterai hingga khazanah itu akhirnya dibukakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.. Dengan demikian sempurnalah nubuatan yang terkandung dalam Wahyu 10:4,

“Tatkala ketujuh guruh sudah berbunyi, sedang aku hendak menyuratkan, lalu aku dengar suara dari langit, katanya :

“Meteraikanlah barang apa yang ketujuh guruh itu sudah mengatakan dan jangan dituliskan”.



Nubuatan itu menunjuk kepada kenyataan bahwa Fatoah atau Al-Fatihah itu untuk sementara waktu akan tetap merupakan sebuah kitab tertutup, tetapi suatu waktu akan tiba, ketika khazanah ilmu rohani yang dikandungnya akan dibukakan. Hal itu telah dilaksanakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.



Hubungan dengan Bagian Lain Al Qur’an

Surah ini seakan-akan merupakan pengantar kepada Al Qur’an. Sesungguhnya Surah ini adalah Al Qur’an dalam bentuk miniatur. Dengan demikian pembaca semenjak ia mulai mempelajarinya, telah diperkenalkan dalam garis besarnya kepada masalah-masalah yang akan dijumpainya dalam Kitab Suci itu. Diriwayatkan, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda bahwa, Surah Al Fatihah itu Surah Al Qur’an yang terpenting (Bukhari).



Ikhtisar Surah

Surah ini merupakan intisari seluruh ajaran Al Qur’an. Secara garis besarnya, Surah ini meliputi semua masalah yang diuraikan dengan panjang lebar dalam seluruh Al Qur’an. Surah ini mulai dengan uraian tentang sifat-sifat Tuhan lainnya, dan merupakan dasar bekerjanya alam semesta, serta dasar perhubungan antara Tuhan dengan manusia. Keempat sifat Tuhan yang pokok, Rabb (Pencipta, Yang memelihara dan Mengembangkan), Rahman (Maha Pemurah), Rahim (Maha Penyayang) dan Maliki Yaum-id-Din (Pemilik Hari Pembalasan) mengandung arti bahwa sesudah menjadikan manusia, Tuhan menganugerahinya kemampuan-kemampuan tabi’i (alami) terbaik, dan melengkapinya dengan bahan-bahan yang diperlukan untuk kemajuan jasmani, kemasyarakatan, akhlak dan rohani. Selanjutnya dia memberikan jaminan bahwa usaha dan upaya manusia itu akan diganjar sepenuhnya. Kemudian surah itu mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, yakni menyembah Tuhan dan mencapai qurb (kedekatan)-Nya dan bahwa ia senantiasa memerlukan pertolongan-Nya untuk melaksanakan tujuannya yang agung itu. Disebutkannya keempat sifat Tuhan itu diikuti oleh doa lengkap yang didalamnya terungkap sepenuhnya segala dorongan ruh manusia. Doa itu mengajarkan bahwa manusia senantiasa harus mencari dan memohon pertolongan Tuhan, agar Dia melengkapinya dengan sarana-sarana yang diperlukan olehnya, untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat. Tetapi karena manusia cenderung memperoleh kekuatan dan semangat dari teladan baik wujud-wujud mulia dan agung dari zaman lampau yang telah mencapai tujuan hidup mereka, maka ia diajari untuk berdoa, agar Tuhan membuka pula baginya jalan-jalan kemajuan akhlak dan rohani yang tak terbatas, seperti telah dibukakan bagi mereka itu. Akhirnya doa itu mengandung peringatan, bahwa jangan-jangan sesudah ia dibimbing kepada jalan lurus ia sesat dari jalan itu, lalu kehilangan tujuannya dan menjadi asing terhadap Khalik-nya. Ia diajari untuk selalu mawas diri dan senantiasa mencari perlindungan Tuhan terhadap kemungkinan jadi asing terhadap Tuhan. Itulah masalah yang dituangkan dalam beberapa ayat Al-Fatihah dan itulah masalah yang dibahas dengan sepenuhnya dan seluas-luasnya oleh Al-Qur’an, sambil menyebut contoh-contoh yang tiada tepermanai banyaknya, sebagai petunjuk bagi siapa yang membacanya.

Orang-orang mukmin dianjurkan agar sebelum membaca Al Qur’an untuk memohon perlindungan Tuhan terhadap syaitan :

“Maka apabila engkau hendak membaca Al Qur’an, maka mohonlah perlindungan Allah dari syaitan yang terkutuk” (16:99)

Perlindungan dan penjagaan itu berarti (1) bahwa jangan ada kejahatan menimpa kita; (2) bahwa jangan ada kebaikan terlepas dari kita, dan (3) bahwa sesudah kita mencapai kebaikan, kita tidak terjerumus kembali kedalam kejahatan. Doa yang diperintahkan untuk itu ialah : “Aku berlindung kepada Allah, dari syaitan yang terkutuk”, yang harus mendahului tiap-tiap pembacaan Al Qur’an.

Bab-bab Al Qur’an berjumlah 114 dan masing-masing disebut Surah. Kata Surah itu berarti : (1) pangkat atau kedudukan tinggi; (2) ciri atau tanda; (3) bangunan yang tinggi dan indah; (4) sesuatu yang lengkap dan sempurna (Aqrab dan Qurthubi). Bab-bab Al Qur’an disebut surah karena (a) dengan membacanya, martabat orang terangkat dan dengan perantaraannya ia mencapai kemuliaan; (b) nama-nama Surah berlaku sebagai tanda pembukaan dan penutupan berbagai masalah yang dibahas dalam Al Qur’an; (c) Surah-surah itu masing-masing laksana bangunan rohani yang mulia dan; (d) tiap-tiap Surah berisikan tema yang sempurna. Nama surah untuk pembagian demikian telah dipergunakan dalam Al Qur’an sendiri (2 : 24 dan 24 : 2). Nama ini dipakai juga didalam hadits. Rasulullah s.a.w. bersabda “baru saja sebuah Surah telah diwahyukan kepadaku dan bunyinya sebagai berikut” (Muslim). Dari itu jelaslah, bahwa nama Surah untuk bagian-bagian Al Qur’an telah biasa dipakai sejak permulaan Islam dan bukan ciptaan baru yang diadakan dikemudian hari.

1. aAku baca dengan1 nama2 Allah3, سْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Maha Pemurah, Maha Penyayang4.



aDitempatkan dipermulaan tiap surah kecuali surah 9; juga dalam 27:31. Lihat juga 96:2.



1. Ba’ itu kata depan yang dipakai untuk menyatakan beberapa arti dan arti yang lebih tepat di sini, ialah “dengan”. Maka kata majemuk bism itu akan berarti “dengan nama”. Menurut kebiasaan orang Arab, kata iqra’ atau aqra’u atau naqra’u atau isyra’ atau asyra’u atau nasyra’u harus dianggap ada tercantum sebelum bismillah, sutau ungkapan dengan arti “mulailah dengan nama Allah” atau “bacalah dengan nama Allah” atau “aku atau kami mulai dengan nama Allah”. Dalam terjemahan ini ucapan bismillah diartikan “dengan nama Allah”, yang merupakan bentuk lazim (Lane).

2. Ism mengandung arti: nama atau sifat (Aqrab). Di sini kata itu dipakai dalam kedua pengertian tersebut. Kata itu menunjuk kepada Allah, nama wujud Tuhan; dan kepada Ar-Rahman (Maha pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), keduanya nama sifat Tuhan.

3. Allah itu nama Dzat Maha Agung, Pemilik Tunggal semua sifat kesempurnaan dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa arab, kata Allah itu tidak pernah dipakai untuk benda atau zat lain apapun. Tiada bahasa lain memiliki nama tertentu atau khusus untuk Dzat Yang Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain, semuanya nama-petunjuk-sifat nama pemberian (pelukisan) dan seringkali dipakai dalam bentuk jamak; akan tetapi, kata “Allah” tidak pernah dipakai dalam bentuk jamak. Kata Allah itu “ism dzat”, tidak “musytak”, tidak diambil dari kata lain, dan tidak pernah dipakau sebagai keterangan atau sifat. Karena tiada kata lain yang sepadan, maka nama “Allah” dipergunakan di seluruh terjemahan ayat-ayat Al Qur’an. Pandangan ini didukung didukung oleh para alim bahasa Arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat, kata “Allah” itu nama wujud bagi Dzat yang wajib ada-Nya menurut Dzat-Nya sendiri, memiliki segala sifat kesempurnaan, dan huruf al adalah tidak terpisahkan dari kata itu (Lane).

4. Ar-Rahman (Maha Pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) keduanya berasal dari akar yang sama. Rahima artinya, ia telah menampakkan kasih-sayang; ia ramah dan baik; ia memaafkan, mengampuni. Kata Rahmah menggabungkan arti riqqah, ialah “kehalusan” dan ihsan, ialah “kebaikan”, “kebajikan” (Mufradat). Ar-Rahman dalam wazan (ukuran) fa’lan, dan Ar-Rahim dalam ukuran fa’il. Menurut kaedah tata bahasa Arab, makin banyak jumlah huruf ditambahkan pada akar kata, makin luas dan mendalam pula artinya (Kasysyaf). Ukuran fa’lan membawa arti kepenuhan dan keluasaan, sedang ukuran fa’il menunjuk kepada arti ulangan dan pemberian ganjaran dengan kemurahan hati kepada mereka yang layak menerimanya (Muhith). Jadi, di mana kata Ar-Rahman menunjukkan “kasih sayang meliputi alam semesta”, kata Ar-Rahim berarti “kasih sayang yang ruang lingkupnya terbatas, tetapi berualang-ulang ditampakkan”. Mengingat arti-arti di atas, Ar-Rahman itu Dzat Yang menampakkan kasih sayang dengan cuma-cuma dan meluas kepada semua makhluk tanpa mempertimbangkan usaha atau amal; dan Ar-Rahim itu Dzat Yang menampakkan kasih sayang sebagai imbalan atas amal perbuatan manusia, tetapi menampakkannya dengan murah dan berulang-ulang.

Kata Ar-Rahman hanya dipakai untuk Tuhan, sedang Ar-Rahim dipakai pula untuk manusia. Ar-Rahman tidak hanya meliputi orang-orang mukmin dan kafir saja, tetapi juga seluruh makhluk. Ar-Rahim terutama tertuju kepada orang-orang mukmin saja. Menurut sabda Rasulullah s.a.w., sifat Ar-Rahman umumnya bertalian dengan kehidupan di dunia ini, sedang sifat Ar-Rahim umumnya bertalian dengan kehidupan yang akan datang (Muhith). Artinya, karena dunia ini pada umumnya adalah dunia perbuatan, dan karena alam akhirat itu suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa, maka sifat Tuhan Ar-Rahman menganugerahi manusia alat dan bahan, untuk melaksanakan pekerjaannya dalam kehidupan di dunia ini, dan Sifat Tuhan Ar-Rahim mendatangkan hasil dalam kehidupan yang akan datang. Segala benda yang kita perlukan dan atas itu kehidupan kita bergantung adalah semata-mata karunia Illahi dan sudah tersedia untuk kita, sebelum kita berbuat sesuatu yang menyebabkan kita layak menerimanya, atau bahkan sebelum kita dilahirkan; sedang karunia yang tersedia untuk kita dalam kehidupan yang-akan-datang, akan dianugerahkan kepada kita sebagai ganjaran atas amal perbuatan kita. Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahman itu Pemberi Karunia yang mendahului kelahiran kita, sedang Ar-Rahim itu Pemberi Nikmat-nikmat yang mengikuti amal perbuatan kita sebagai ganjarannya.

Bismillah-ir-Rahman-ir-Rahim adalah ayat pertama tiap-tiap Surah Al Qur’an, kecuali Al Bara’ah (At-Taubah) yang sebenarnya bukan Surah yang berdiri sendiri, melainkan lanjutan Surah Al-Anfal. Ada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang maksudnya, bila sesuatu Surah-baru diwahyukan, biasanya dimulai dengan bismillah, dan tanpa bismillah, Rasulullah s.a.w. tidak mengetahui bahwa Surah baru telah dimulai (Daud). Hadits ini menampakkan bahwa (1) bismillah itu bagian Al Qur’an dan bukan suatu tambahan, (2) bahwa surah Bara’ah itu, bukan Surah yang berdiri sendiri. Hadits itu menolak pula kepercayaan yang dikemukakan oleh sementara orang bahwa, bismillah hanya merupakan bagian Surah Al-Fatihah saja dan bukan bagian semua Surah Al Qur’an. Selanjutnya, ada riwayat Rasulullah s.a.w. pernah bersabda bahwa, ayat bismillah itu bagian semua Surah Al Qur’an (Bukhari dan Quthni). Ditempatkannya bismillah pada permulaan tiap-tiap Surah mempunyai arti seperti berikut : Al Qur’an itu khazanah ilmu Ilahi yang tidak dapat disentuh tanpa karunia khusus dari Tuhan, “Tiada orang boleh menyentuhnya, kecuali mereka yang telah disucikan” (56:80). Jadi bismillah telah ditempatkan pada permulaan tiap Surah untuk memperingatkan orang Muslim bahwa, untuk dapat masuk ke dalam Khazanah ilmu Ilahi yang termuat dalam Al Qur’an; dan untuk mendapat manfaat faedah darinya ia hendaknya mendekatinya bukan saja dengan hati yang suci, melainkan ia harus pula senantiasa mohon pertolongan Tuhan. Ayat bismillah itu, mempunyai pula tujuan penting yang lain. Ayat itu ialah kunci bagi arti dan maksud tiap-tiap Surah, karena segala persoalan mengenai urusan akhlak dan rohani, dengan satu atau lain cara, ada pertaliannya dengan dua Sifat Ilahi yang pokok, yaitu Rahmaniyah (Kemurahan) dan Rahimiyah (Kasih-Sayang). Jadi tiap-tiap Surah pada hakikatnya, merupakan uraian terperinci dari beberapa segi Sifat-sifat Ilahi yang tersebut dalam ayat ini. Ada tuduhan bahwa kalimah bismillah, itu diambil dari kitab-kitab suci sebelum Al Qur’an. Kalau Sale mengatakan bahwa kalimah itu diambil dari Zend Avesta, maka Rodwell berpendapat bahwa, orang-orang Arab sebelum Islam mengambilnya dari orang-orang Yahudi, dan kemudian dimasukkan ke dalam Al Qur’an. Kedua paham itu nyata sekali salah. Pertama, tidak pernah dida’wakan oleh orang-orang Islam bahwa, kalimah itu dalam bentuk ini atau sebangsanya tidak dikenal sebelum Al Qur’an diwahyukan. Kedua, keliru sekali mengemukakan sebagai bukti bahwa, karena kalimah itu dalam bentuk yang sama atau serupa kadang-kadang dipakai oleh orang-orang Arab sebelum diwahyukan dalam Al Qur’an, maka kalimah itu tidak mungkin asalnya dari Tuhan. Sebenarnya Al Qur’an sendiri menegaskan bahwa, Nabi Sulaiman a.s. memakai kalimah itu dalam suratnya kepada Ratu Saba (27:31). Apa yang dida’wakan oleh orang-orang Islam dan da’wa tersebut tidak pernah ada yang membantah, ialah bahwa, diantara Kitab-kitab suci, Al Qur’an adalah yang pertama kalinya memakai kalimah itu dengan caranya sendiri. Pula keliru sekali mengatakan bahwa, kalimah itu sudah lazim di antara orang-orang Arab sebelum Islam, sebab kenyataan yang sudah diketahui ialah bahwa, orang-orang Arab mempunyai rasa keseganan menggunakan kata Ar-Rahman sebagai panggilan untuk Tuhan. Pula, jika kalimah demikian dikenal sebelumnya, maka hal itu malah mendukung kebenaran ajaran Al Qur’an bahwa, tiada satu kaum pun yang kepadanya tidak pernah diutus seorang Pemberi Ingat (35:25), dan juga bahwa, Al Qur’an itu adalah khazanah semua kebenaran yang kekal dan termaktub dalam Kitab-kitab Suci sebelumnya (98:5). Al Qur’an tentu menambah lebih banyak lagi dan apapun yang diambil alihnya, Al Qur’an memperbaiki bentuk atau pemakaiannya, atau memperbaiki kedua-duanya.



2. aSegala5 puji5A hanya bagi Allah, الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tuhan6 semesta alam6A,



a6 : 2; 6 : 46; 10 : 11; 18 : 2; 29 : 64; 30 : 19; 31 : 26; 34 : 2; 35 : 2; 37 : 183; 39 : 76; 45 : 37.



5. Dalam bahasa Arab al itu kurang lebih sama artinya dengan kata “the” dalam bahasa Inggris. Kata al dipergunakan untuk menunjukkan keluasan yang berarti, meliputi semua segi atau jenis sesuatu pokok, atau untuk melukiskan kesempurnaan, yang pula suatu segi keluasan oleh karena meliputi semua tingkat dan derajat. Al dipakai juga untuk menyatakan sesuatu yang telahdisebut atau suatu pengertian atau konsep yang ada dalam pikiran.

5A. Dalam bahasa Arab ada dua kata mada dan hamd, dipakai dalam arti pujian atau syukur; tetapi kalau maha itu mungkin palsu, hamd itu senantiasa benar. Pula madah dapat dipakai mengenai perbuatan baik yang tidak dikuasai oleh pelakunya; tetapi hamd hanya dipakai mengenai perbuatan yang dilakukan dengan kerelaan hati dan dengan kemauan sendiri (Mufradat). Hamd mengandung pula arti pengaguman, penyanjungan, dan penghormatan terhadap yang dituju oleh pujian itu; dan kerendahan, kehinaan serta kepatuhan orang yang memberi pujian (Lane). Jadi Hamd itu kata yang paling tepat dipakai disini, untuk maksud mengutarakan kebaikan, dan puji-pujian yang sungguh wajar lagi layak dan sebagai sanjungan akan kemuliaan Tuhan. Menurut kebiasaan, kata hamd kemudian mengandung khusus ditujukan kepada Tuhan.

6. Kata kerja rabba berarti, ia mengelola urusan itu; ia memperbanyak, mengembangkan, memperbaiki, dan melengkapkan urusan itu; ia memelihara dan menjaga. Jadi rabb berarti, (a) Tuhan, Yang Dipertuan, Khalik (Yang Menciptakan); (b) Wujud Yang memelihara dan mengembangkan; (c) Wujud Yang menyempurnakan, dengan cara setingkat demi setingkat (Mufradat dan Lane). Dan jika dipakai dalam rangkaian dengan kata lain, kata itu dapat dipakai untuk orang atau wujud selain Tuhan.

6A. Al-‘alamin itu jamak dari al-’alam berasal dari akar kata ‘ilm yang berarti “mengetahui”. Kata itu bukan saja telah dikenakan kepada semua wujud atau benda yang dengan sarana itu, orang dapat mengetahui Sang Pencipta (Aqrab). Kata itu dikenakan bukan saja kepada segala macam wujud atau benda yang dijadikan, tetapi juga kepada golongan-golongannya secara kolektif, sehingga orang berkata ‘alamul-ins, artinya: alam manusia atau ‘alam-ul-hayawan, ialah alam binatang. Kata al-‘alamin tidak hanya dipakai untuk menyebut wujud-wujud berakal – manusia dan malaikat – saja. Al Qur’an mengenakannya kepada semua benda yang diciptakan (26 : 24-29 dan 41 : 10). Akan tetapi, tentu saja kadang-kadang kata itu, dipakai dalam arti yang terbatas (2 : 123). Di sini kata itu dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan mengandung arti “segala sesuatu yang ada selain Allah”, ialah benda-benda berjiwa dan tidak berjiwa dan mencakup juga benda-benda langit – matahari, bulan, bintang, dan sebagainya.

Ungkapan “Segala puji bagi Allah” adalah lebih luas dan lebih mendalam artinya daripada “Aku memuji Allah”, sebab manusia hanya dapat memuji Tuhan menurut pengetahuannya; tetapi, anak kalimat “Segala puji bagi Allah” meliputi bukan saja puji-pujian yang diketahui manusia, tetapi juga puji-pujian yang tidak diketahuinya. Tuhan layak mendapat puji-pujian setiap waktu, terlepas dari pengetahuan atau kesadaran manusia yang tidak sempurna. Tambahan juga, kata al-hamd itu masdar, dan karena itu dapat diartikan kedua-duanya sebagai pokok kalimat atau sebagai tujuan kalimat. Diartikan sebagai pokok, Al-hamdu lillahi berarti hanyalah Tuhan yang berhak memberikan pujian sejati dan tiap-tiap macam pujian yang sempurna hanya layak bagi Tuhan semata-mata. Untuk huruf al lihat 5.

Ayait ini menunjuk kepada hukum evolusi di dunia, artinya bahwa segala sesuatu mengalami perkembangan dan bahwa perkembangan itu terus-menerus dan terlaksana secara bertahap. Rabb itu Wujud Yang membuat segala sesuatu tumbuh dan berkembang, setingkat demi setingkat. Ayat itu menjelaskan juga bahwa prinsip evolusi itu tidak bertentangan dengan kepercayaan kepada Tuhan. Tetapi proses evolusi yang disebut di sini, tidak sama dengan teori evolusi seperti yang biasa diartikan. Kata-kata itu dipergunakan dalam arti umum. Selanjutnya, ayat ini menunjuk kepada kenyataan bahwa, manusia dijadikan untuk kemajuan tak terbatas, sebab ungkapan Rabb-ul-’alamin itu mengandung arti bahwa, Tuhan mengembangkan segala sesuatu dari tingkatan rendah kepada yang lebih tinggi dan hal itu hanya mungkin jika tiap-tiap tingkatan itu diikuti oleh tingkatan lain, dalam proses yang tiada henti-hentinya.

3. aMaha Pemurah. bMaha الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ

Penyayang7.

4. cPemilik8 dHari9 مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Pembalasan10.



a25 : 61; 26 : 6; 41 : 3; 55 : 2; 59 : 23. b33 : 44; 36 : 59. c48 : 15. d51 : 13; 74 : 47; 82 : 18, 19; 83 : 7



7. Dalam ungkapan bismillah, sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim berlaku sebagai kunci arti seluruh Surah. Sifat-sifat itu disebut di sini memenuhi satu tujuan tambahan. Sifat-sifat itu dipakai di sini, sebagai mata rantai antara Sifat Rabb-ul-‘alamin dan Maliki yaum-id-din.

8. Malik berarti majikan, atau orang yang mempunyai hak atas sesuatu dan memiliki kekuasaan, untuk memperlakukannya dengan sekehendaknya (Aqrab).

9. Yaum berarti waktu mutlak, hari mulai matahari terbit hingga terbenamnya; masa sekarang (Aqrab).

10. Din berarti pembalasan atau ganjaran; peradilan atau perhitungan; kekuasaan atau pemerintahan; kepatuhan; agama, dan sebagainya (Lane).

Keempat sifat Tuhan ialah, “Tuhan sekalian alam”, “Pemurah”, “Penyayang” dan “Pemilik Hari Pembalasan” adalah sifat-sifat pokok. Sifat-sifat lain hanya menjelaskan dan merupakan semacam tafsiran, tentang keempat sifat tadi yang laksana empat buah tiang di atasnya terletak singgasana Tuhan Yang Maha Kuasa. Urutan keempat sifat itu seperti dituturkan di atas memberikan penjelasan, bagaimana Tuhan menampakkan sifat-sifat-Nya kepada manusia. Sifat Rabb-ul-‘alamin (Tuhan sekalian alam) mengandung arti bahwa seiring dengan dijadikannya manusia, Tuhan menjadikan lingkungan yang diperlukan untuk kemajuan dan perkembangan rohaninya. Sifat Ar-Rahman (Pemurah) mulai berlaku sesudah itu dan dengan perantaraan itu. Tuhan seolah-olah menyerahkan kepada manusia sarana-sarana dan bahan-bahan yang diperlukan untuk kemajuan akhlak dan rohaninya. Dan jika manusia memakai alat-alat yang dianugerahkan kepadanya itu secara tepat, sifat Ar-Rahim mulai berlaku untuk mengganjar amalnya. Yang terakhir sekali, sifat Maliki yaum-id-din (Pemilik Hari Pembalasan) mempertunjukkan hasil terakhir dan kolektif amal perbuatan manusia. Dengan demikian, pelaksanaan pembalasan mencapai kesempurnaan. Sungguhpun perhitungan terakhir dan sempurna akan terjadi pada Hari Pembalasan, proses pembalasan itu terus berlaku, bahkan dalamkehidupan ini juga dengan perbedaan bahwa dalam kehidupan ini perbuatan manusia seringkali diadili dan diganjar oleh orang lain, para raja, para penguasa, dan sebagainya. Oleh karena itu, senantiasa ada kemungkinan adanya kekeliruan. Tetapi, pada Hari Pembalasan, kedaulatan Tuhan itu mandiri dan mutalk. Dan tindakan Pembalasan itu sendiri seluruhnya ada dalam kekuasan-Nya. Ketika itu tidak akan terdapat kesalahan, tiada hukuman yang tidak tepat, tiada ganjaran yang tidak adil. Pemakaian kata Malik (Pemilik) dimaksudkan pula untuk menunjuk kepada kenyataan bahwa Tuhan tidak seperti seorang hakim yang harus menjatuhkan keputusan benar sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan. Selaku Malik (Pemilik), Dia dapat mengampuni dan menampakkan kasih sayang-Nya, kapan saja dan dengan cara apapun sekehendak-Nya. Dengan mengambil din dalam arti “agama”, maka kata-kata “Yang mempunyai waktu agama” akan berarti bahwa, bila suatu agama sejati diturunkan, umat manusia menyaksikan suatu penjelmaan kekuasaan dan takdir Ilahi yang luar biasa, dan bila agama itu mundur, maka nampaknya seolah-olah sekalian alam berajalan secara mekanis, tanpa pengawasan atau pengaturan Sang Pencipta dan Al-Malik.

5. aHanya Engkau kami sembah11 إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

dan bhanya kepada Engkau kami

Mohon pertolongan12.



A11 : 3; 12 : 41; 16 : 37; 17 : 24; 41 : 38. b2 : 46, 154; 21 : 113



11. Ibadah berarti merendahkan diri, penyerahan diri, ketaatan, dan berbakti sepenuhnya. Ibadah mengandung pula arti, iman kepada Tauhid Ilahi dan pernyataan iman itu dengan perbuatan. Kata itu berarti juga, penerimaan kesan atau cap dari sesuatu. Dalam arti ini ibadah akan berarti, menerima kesan atau cap dari sifat-sifat Ilahi dan meresapkan serta mencerminkan sifat-sifat itu dalam dirinya sendiri.

12. Kata-kata Hanya Engkau kami sembah, telah ditempatkan sebelum kata-kata, hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan, untuk menunjukkan bahwa sesudah orang mengetahui kebesaran sifat-sifat Tuhan, maka dorongan pertama yang timbul dalam hatinya ialah beribadah kepada Dia. Pikiran untuk mohon pertolongan Tuhan, datang sesudah adanya dorongan untuk beribadah. Orang ingin beribadah kepada Tuhan, tetapi ia menyadari bahwa untuk berbuat demikian, ia memerlukan pertolongan Tuhan. Pemakaian bentuk jamak dalam ayat ini mengarahkan perhatian kita kepada dua pokok yang sangat penting yaitu (a) bahwa manusia tidak hidup seorang diri di bumi ini, melainkan ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat sekitarnya. Maka ia hendaknya berusaha jangan berjalan sendiri, tetapi harus menarik orang-orang lain juga bersama dia melangkah di jalan Tuhan. (b) bahwa selama manusia tidak mengubah lingkungannya, ia belum aman.

Layak dicatat pula, bahwa Tuhan dalam keempat ayat pertama disebut sebagai orang ketiga, tetapi dalam ayat ini tiba-tiba Dia dipanggil dalam bentuk orang kedua. Renungan atas keempat sifat Ilahi itu, membangkitkan dalam diri manusia keinginan yang begitu tak tertahankan untuk dapat melihat Khalik-Nya, dan begitu mendalam dan kuat hasratnya untuk mempersembahkan pengabdian sepenuh hatinya kepada-Nya, sehingga untuk memenuhi hasrat jiwanya itu, bentuk orang ketiga yang dipakai pada keempat ayat permulaan, telah diubah menjadi bentuk orang kedua dalam ayat ini.

6. Tunjukilah kami pada ajalan اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ

Yang lurus13;

7. Jalan borang-orang yang telah صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ

Engkau beri nikmat atas mereka14, غَيرِ المَغضُوبِ عَلَي

Bukan atas mereka cyang dimurkai وَلاَ الضَّالِّينَ

Dan bukan pula dyang sesat15.



a19 : 37; 36 : 62; 42 : 53, 54. b4 : 70; 5 : 21; 19 : 59. c2 : 62, 91; 3 : 113; 5 : 61, 79. d3 : 91; 5 : 78; 18 : 105.



13. Doa ini meliputi seluruh keperluan manusia, kebendaan dan rohani, untuk masa ini dan masa yang akan datang. Orang mukmin berdoa agar kepadanya ditunjukkan jalan lurus, jalan terpendek. Kadang-kadang kepada manusia diperlihatkan jalan yang benar dan lurus itu, tetapi ia tidak dipimpin kepadanya, atau jika pun dibimbing ke sana, ia tidak bersitetap pada jalan itu dan tidak mengikutinya hingga akhir. Doa itu menghendaki, agar orang beriman tidak merasa puas dengan hanya diperlihatkan kepadanya suatu jalan, atau juga dengan dibimbing pada jalan itu, tetapi ia harus senantiasa terus menerus mengikutinya hingga mencapai tujuannya, dan inilah makna hidayah, yang berarti menunjukkan jalan yang lurus (90 : 11), membimbing ke jalan yang lurus (29 : 70) dan membuat orang mengikuti jalan yang lurus (7 : 44) (Mufradat dan Baqa). Pada hakikatnya, manusia memerlukan pertolongan Tuhan pada tiap-tiap langkah dan pada setiap saat, dan sangat perlu sekali baginya, agar ia senantiasa mengajukan kepada Tuhan permohonan yang terkandung dalam ayat ini. Maka oleh karena itu, doa terus- menerus itu memang sangat perlu. Selama kita mempunyai keperluan-keperluan yang belum kesampaian dan keperluan-keperluan yang belum terpenuhi serta tujuan-tujuan yang belum tercapai, kita selamanya memerlukan doa.

14. Orang mukmin sejati tidak akan puas hanya dengan dipimpin ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal saleh tertentu saja. Ia menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha mencapai kedudukan saat Tuhan mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya. Ia melihat kepada contoh-contoh karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada para pilihan Tuhan, lalu memperoleh dorongan semangat dari mereka. Ia malahan tidak berhenti sampai disitu saja, tetapi ia berusaha keras dan berdoa agar supaya digolongkan diantara “orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari antara mereka. Orang-orang yang telah mendapat nikmat itu, telah disebut dalam 4:60. Doa itu umum dan tidak untuk suatu karunia tertentu. Orang mukmin bermohon kepada Tuhan agar dianugerahi karunia rohani yang tertinggi kepadanya, dan terserah kepada Tuhan untuk menganugerahkan kepadanya karunia yang dianggap-Nya pantas dan layak bagi orang mukmin yang menerimanya.

15. Surat Al-Fatihah membuka suatu tertib indah dalam susunan kata-katanya dan kalimat-kalimatnya. Surah ini dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama. Separuhnya yang pertama bertalian dengan Tuhan, separuhnya yang kedua dengan manusia, dan tiap bagian bertalian satu sama lain dengan cara yang sangat menarik. Berkenaan dengan nama “Allah” yang menunjuk kepada Dzat Yang memiliki segala sifat mulia yang tersebut dalam bagian pertama. Kemudian kita dapati kata-kata, hanya Engkau kami sembah dalam bagian yang kedua. Segera setelah seorang abid (yang melakukan ibadah) ingat bahwa Tuhan bebas dari segala cacat dan kekurangan serta memiliki segala sifat sempurna, maka seruan hanya Engkau kami sembah dengan sendirinya timbul dari hati sanubarinya. Dan sesuai dengan sifat “Tuhan semesta alam” tercantum kata-kata kepada Engkau kami mohon pertolongan dalam bagian kedua. Setelah orang Islam mengetahui bahwa Tuhan itu Khalik dan Pemelihara sekalian alam dan Sumber dari segala kemajuan, ia segera berlindung kepada Tuhan sambil berkata, kepada Engkau kami mohon pertolongan. Kemudian, sesuai dengan sifat “Ar-Rahman”, yakni Pemberi karunia tak terbilang dan Pemberi dengan Cuma-Cuma segala keperluan kita, tercantum kata-kata, Tunjukilah kami pada jalan yang lurus dalam bagian kedua; sebab, karunia terbesar tersedia bagi manusia ialah petunjuk yang disediakan Tuhan baginya, dengan menurunkan wahyu dengan perantaraan rasul-rasul-Nya. Sesuai dengan sifat “Ar-Rahim”, yakni Pemberi ganjaran terbaik untuk amal perbuatan manusia dalam bagian pertama, kita jumpai kata-kata, Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dalam bagian kedua, sebab memang Ar-Rahim lah yang menganugerahkan nikmat-nikmat yang layak bagi hamba-hamba-Nya yang khas. Lagi, sesuai dengan “Pemilik hari pembalasan” kita dapatkan Bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula yang sesat. Bila terlintas dalam pikiran manusia bahwa ia harus memberikan pertanggung jawaban atas amal perbuatannya, ia takut menemui kegagalan, maka dengan merenungkan sifat Pemilik Hari Pembalasan, ia mulai berdoa kepada Tuhan, supaya ia dipelihara dari murka-Nya dan dari kesesatan dari jalan lurus.

Sifat khusus lainnya pada doa yang terkandung dalam Surah ini ialah doa itu menghimbau naluri-naluri manusia yang dalam, dengan cara yang wajar sekali. Dalam fitrat manusia ada dua pendorong yang merangsangnya untuk menyerahkan diri, ialah cinta dan takut. Sebagian orang tergerak oleh cinta, sedang yang lain terdorong oleh takut. Dorongan cinta memang lebih mulia, akan tetapi mungkin ada dan sungguh memang ada orang-orang yang hatinya tidak tergerak oleh cinta. Mereka hanya menyerah karena pengaruh takut. Dalam Al-Fatihah, kedua pendorong manusia itu telah dihimbau. Mula-mula tampil sifat-sifat Ilahi yang membangkitkan cinta, “Pencipta dan Pemelihara sekalian alam”, “Maha Pemurah” dan “Maha Penyayang”. Kemudian segera mengikutinya “Pemilik Hari Pembalasan” yang memperingatkan manusia bahwa bila ia tidak memperbaiki tingkah-lakunya dan tidak menyambut cinta dengan baik, maka ia harus bersedia mempertanggung jawabkan amal perbuatannya di hadapan Tuhan. Dengan demikian, pendorong kepada “takut” dipergunakan berdampingan dengan pendorong kepada cinta. Tetapi, oleh karena kasih-sayang Tuhan itu jauh mengatasi sifat Murka-Nya, sifat inipun yang merupakan yang merupakan satu-satunya sifat pokok yang bertujuan membangkitkan takut, tidak dibiarkan tanpa menyebut kasih-sayang. Pada hakikaknya, disinipun kasih-sayang Tuhan mengatasi Murka-Nya, sebab telah terkandung juga dalam sifat ini bahwa kita tidak akan menghadap seorang Hakim, tetapi menghadap Tuhan Yang berkuasa mengampuni dan Yang hanya akan menyiksa bila siksaan itu sangat perlu sekali. Pendek kata, Al-Fatihah itu khazanah ilmu rohani yang menakjubkan. Al-Fatihah itu Surah pendek dengan tujuan ayat ringkas, tetapi Surah yang sungguh-sungguh merupakan tambang ilmu dan hikmah. Tepat sekali disebut “Ibu Kitab”, Al-Fatihah itu intisari dan pati Al Qur’an. Mulai dengan nama Allah, Sumber pokok pancaran segala karunia, rahmat dan berkat. Surah ini melanjutkan penuturan keempat sifat pokok Tuhan, yaitu (1) Yang menjadikan dan memelihara alam semesta; (2) Maha Pemurah Yang mengadakan jaminan untuk segala keperluan manusia, bahkan sebelum ia dilahirkan, dan tanpa suatu usaha apapun dari pihak manusia untuk memperolehnya; (3) Maha Penyayang, Yang menetapkan hasil sebaik mungkin amal perbuatan manusia dan Yang mengganjarnya dengan amat berlimpah-limpah; dan (4) Pemilik Hari Pembalasan; dihadapan-Nya, manusia harus mempertanggung jawabkan amal perbuatannya dan Yang akan menurunkan siksaan kepada si jahat, tetapi tidak akan berlaku terhadap makhluk-Nya semata-mata sebagai Hakim, melainkan sebagai Majikannya Yang melunakkan hukuman dengan kasih-sayang, dan Yang sangat cenderung mengampuni, kapan saja pengampunan akan membawa hasil yang baik. Itulah citra Tuhan Islam, seperti dikemukakan awal sekali Al Qur’an, mengenai Dzat Yang kekuasaan dan kedaulatan-Nya tak ada hingganya dan kasih-sayang serta kemurahan-Nya tiada batasnya. Kemudian datanglah pernyataan manusia bahwa, mengingat Tuhan nya itu Pemilik semua sifat agung dan luhur, malah ia bersedia dan malah berhasrat menyembah Dia dan menjatuhkan diri pada kaki-Nya dalam pengabdian yang sempurna; tetapi Tuhan mengetahui bahwa manusia itu lemah, mudah keliru dan tergelincir, maka Tuhan mendorong hamba-hamba-Nya, agar mohon pertolongan-Nya pada setiap derap langkah majunya dan setiap keperluan yang dihadapinya. Akhirnya datanglah doa yang padat dan berjangkauan jauh, suatu doa yang di dalamnya manusia bermohon kepada Khalik nya, untuk membimbingnya ke jalan yang lurus dalam segala urusan rohani dan duniawi, baik mengenai keperluan-keperluannya saat ini maupun dimasa depan. Ia berdoa kepada Tuhan agar ia bukan saja dapat menghadapi segala cobaan dan ujian dengan tabah, tetapi juga selaku “orang-orang terpilih”, menghadapinya dengan cara yang sebaik-baiknya dan menjadi penerima karunia dan berkat Tuhan yang paling banyak dan paling besar, agar ia selama-lamanya terus melangkah maju pada jalan yang lurus, maju terus semakin dekat lagi kepada Tuhan dan Junjungan- nya, tanpa terantuk-antuk diperjalannya seperti telah terjadi pada banyak dari antara mereka yang hidup dimasa lampau. Itulah pokok Surah pembukaan Al Qur’an, yang senantiasa diulangi dengan suatu bentuk atau cara lain, dalam seluruh tubuh Kitab Suci itu.

AL-FATIHAT

Nama terkenal untuk Surah pendek ini ialah Fatihat-ul-Kitab (Surah Pembukaan Al-Kitab), diriwayatkan bersumber pada beberapa ahli ilmu hadits yang terpercaya (Tirmidzi dan Muslim). Kemudian nama itu disingkat menjadi Surah Al-Fatihah atau Al-Fatihah saja. Surah ini dikenal dengan beberapa nama dan sepuluh nama berikut ini lebih sah, ialah : Al-Fatihah, Ash-Shalat, Al-Hamd, Umm-ul-Quran, Alquran-ul-‘Adzim, As-Sab’al-Matsani, Umm-ul Kitab, Asy-Syifa, Ar-Ruqyah, dan Al-Kanz. Nama-nama ini menerangkan betapa luasnya isi Surah ini.

Nama Fatihat-ul-Kitab (Surah Pembukaan Al-Kitab) berarti bahwa, karena Surah ini telah diletakkan pada Permulaan, ia merupakan kunci pembuka seluruh pokok masalah Al Qur’an. Ash-Shalat (Shalat) berarti Al-Fatihah merupakan doa yang lengkap lagi sempurna dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari shalat Islam yang sudah melembaga. Al-Hamd (Puji-pujian) berarti bahwa Surah ini menjelaskan tujuan agung kejadian manusia dan mengajarkan bahwa hubungan Tuhan dengan manusia adalah hubungan berdasarkan kemurahan dan kasih-sayang. Umm-ul-Qur’an (Ibu Al Qur’an) berarti bahwa Surah ini merupakan intisari seluruh Al Qur’an, yang dengan ringkas mengemukakan semua pengetahuan yang menyangkut perkembangan akhlak dan kerohanian manusia. Al Qur’an-ul-‘Azhim (Al Qur’an Agung) berarti bahwa meskipun Surah ini terkenal sebagai Umm-ul-Kitab dan Umm-ul-Qur’an, namun tetap merupakan bagian Kitab Suci itu dan bukan seperti anggapan sementara orang, bahwa ia terpisah darinya. As-Sab’ul-Matsani (Tujuh ayat yang sering diulang) berarti, ketujuh ayat pendek Surah ini, sungguh-sungguh memenuhi segala keperluan rohani manusia. Nama itu berarti pula bahwa, Surah ini harus diulang dalam tiap-tiap rakaat shalat. Umm-ul-Kitab (Ibu Kitab) berarti bahwa doa dalam Surah ini, menjadi sebab diwahyukannya ajaran Al-Qur’an. Asy-Syifa (Penyembuh) berarti bahwa surah ini, memberi pengobatan terhadap segala keraguan dan syak yang biasa timbul dalam hati manusia. Ar-Ruqyah (Jimat atau Mantra) berarti bahwa Surah ini bukan hanya doa untuk menghilangkan penyakit, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap syaitan dan pengikut-pengikutnya, dan menguatkan hati manusia untuk melawan mereka. Al-Khanz (Khazanah) mengandung arti bahwa Surah ini merupakan suatu khazanah ilmu yang tiada habis-habisnya.