Jumat, 18 April 2008

Tafsir Al Fatihah

Tafsir Al Fatihah

Surah 1

AL-FATIHAH

Diturunkan : Sebelum Hijrah

Ayatnya : 7, dengan bismillah

Rukunya : 1.

Tempat dan Waktu Diturunkan

Seperti diriwayatkan oleh banyak ahli ilmu hadits seluruh Surah ini diwahyukan di Mekkah dan sejak awal menjadi bagian shalat orang-orang Islam. Surah ini disebut dalam ayat Al Qur’an, “Dan sesungguhnya telah kami Berikan kepada engkau tujuh ayat yang selalu diulang-ulang, dan Al Qur’an yang agung” (15 : 88). Ayat itu, menurut pengakuan para ahli telah diwahyukan di Mekkah. Menurut beberapa riwayat, Surah ini diwahyukan pula untuk kedua kalinya di Medinah. Tetapi, waktunya surah ini untuk pertama kali turun, dapat ditempatkan pada masa permulaan sekali kenabian Rasulullah s.a.w.



Nama-nama Surah dan Artinya

Nama terkenal untuk Surah pendek ini ialah Fatihat-ul-Kitab (Surah Pembukaan Al-Kitab), diriwayatkan bersumber pada beberapa ahli ilmu hadits yang terpercaya (Tirmidzi dan Muslim). Kemudian nama itu disingkat menjadi Surah Al-Fatihah atau Al-Fatihah saja. Surah ini dikenal dengan beberapa nama dan sepuluh nama berikut ini lebih sah, ialah : Al-Fatihah, Ash-Shalat, Al-Hamd, Umm-ul-Quran, Alquran-ul-‘Adzim, As-Sab’al-Matsani, Umm-ul Kitab, Asy-Syifa, Ar-Ruqyah, dan Al-Kanz. Nama-nama ini menerangkan betapa luasnya isi Surah ini.

Nama Fatihat-ul-Kitab (Surah Pembukaan Al-Kitab) berarti bahwa, karena Surah ini telah diletakkan pada Permulaan, ia merupakan kunci pembuka seluruh pokok masalah Al Qur’an. Ash-Shalat (Shalat) berarti Al-Fatihah merupakan doa yang lengkap lagi sempurna dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari shalat Islam yang sudah melembaga. Al-Hamd (Puji-pujian) berarti bahwa Surah ini menjelaskan tujuan agung kejadian manusia dan mengajarkan bahwa hubungan Tuhan dengan manusia adalah hubungan berdasarkan kemurahan dan kasih-sayang. Umm-ul-Qur’an (Ibu Al Qur’an) berarti bahwa Surah ini merupakan intisari seluruh Al Qur’an, yang dengan ringkas mengemukakan semua pengetahuan yang menyangkut perkembangan akhlak dan kerohanian manusia. Al Qur’an-ul-‘Azhim (Al Qur’an Agung) berarti bahwa meskipun Surah ini terkenal sebagai Umm-ul-Kitab dan Umm-ul-Qur’an, namun tetap merupakan bagian Kitab Suci itu dan bukan seperti anggapan sementara orang, bahwa ia terpisah darinya. As-Sab’ul-Matsani (Tujuh ayat yang sering diulang) berarti, ketujuh ayat pendek Surah ini, sungguh-sungguh memenuhi segala keperluan rohani manusia. Nama itu berarti pula bahwa, Surah ini harus diulang dalam tiap-tiap rakaat shalat. Umm-ul-Kitab (Ibu Kitab) berarti bahwa doa dalam Surah ini, menjadi sebab diwahyukannya ajaran Al-Qur’an. Asy-Syifa (Penyembuh) berarti bahwa surah ini, memberi pengobatan terhadap segala keraguan dan syak yang biasa timbul dalam hati manusia. Ar-Ruqyah (Jimat atau Mantra) berarti bahwa Surah ini bukan hanya doa untuk menghilangkan penyakit, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap syaitan dan pengikut-pengikutnya, dan menguatkan hati manusia untuk melawan mereka. Al-Khanz (Khazanah) mengandung arti bahwa Surah ini merupakan suatu khazanah ilmu yang tiada habis-habisnya.



Al-Fatihah Dinubuatkan dalam Perjanjian Baru

Tetapi, nama yang terkenal untuk Surah ini adalah Al-Fatihah. Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa nama itu juga tercantum pada nubuatan Perjanjian Baru.

“Maka aku tampak seorang malaikat lain yang gagah, turun dari langit … dan ditangannya ada sebuah kitab kecil yang terbuka; maka kaki kanannya berpijak di laut, dan kaki kirinya di darat” (Wahyu 10:1-2).

Kata dalam bahasa Ibrani untuk “terbuka” ialah Fatoah yang sama dengan kata dalam bahasa Arab Fatihah. Dan juga :

“… dan tatkala ia (malaikat) berteriak, ketujuh guruhpun membunyikan bunyi masing-masing” (Wahyu 10:3)

“Tujuh Guruh” mengisyaratkan kepada tujuh ayat Surah ini.



Para sarjana Kristen mengatakan bahwa nubuatan itu mengisyaratkan kepada kedatangan Yesus Kristus kedua kalinya. Hal itu telah dibuktikan oleh kenyataan-kenyataan yang sebenarnya. Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. yang dalam wujudnya nubuatan tentang kedatangan Nabi Isa a.s. kedua kalinya telah menjadi sempurna, menulis tafsir mengenai surah ini dan menunjukkan bukti-bukti dan dalil-dalil tentang kebenaran da’wanya dari isi Surah ini dan beliau senantiasa memakainya sebagai doa yang baku. Beliau menyimpulkan dari tujuh ayat yang pendek ini, ilmu-ilmu makrifat Ilahi dan kebenaran-kebenaran kekal abadi yang tidak diketahui sebelumnya. Seolah-olah surah ini sebuah kitab yang dimeterai hingga khazanah itu akhirnya dibukakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.. Dengan demikian sempurnalah nubuatan yang terkandung dalam Wahyu 10:4,

“Tatkala ketujuh guruh sudah berbunyi, sedang aku hendak menyuratkan, lalu aku dengar suara dari langit, katanya :

“Meteraikanlah barang apa yang ketujuh guruh itu sudah mengatakan dan jangan dituliskan”.



Nubuatan itu menunjuk kepada kenyataan bahwa Fatoah atau Al-Fatihah itu untuk sementara waktu akan tetap merupakan sebuah kitab tertutup, tetapi suatu waktu akan tiba, ketika khazanah ilmu rohani yang dikandungnya akan dibukakan. Hal itu telah dilaksanakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.



Hubungan dengan Bagian Lain Al Qur’an

Surah ini seakan-akan merupakan pengantar kepada Al Qur’an. Sesungguhnya Surah ini adalah Al Qur’an dalam bentuk miniatur. Dengan demikian pembaca semenjak ia mulai mempelajarinya, telah diperkenalkan dalam garis besarnya kepada masalah-masalah yang akan dijumpainya dalam Kitab Suci itu. Diriwayatkan, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda bahwa, Surah Al Fatihah itu Surah Al Qur’an yang terpenting (Bukhari).



Ikhtisar Surah

Surah ini merupakan intisari seluruh ajaran Al Qur’an. Secara garis besarnya, Surah ini meliputi semua masalah yang diuraikan dengan panjang lebar dalam seluruh Al Qur’an. Surah ini mulai dengan uraian tentang sifat-sifat Tuhan lainnya, dan merupakan dasar bekerjanya alam semesta, serta dasar perhubungan antara Tuhan dengan manusia. Keempat sifat Tuhan yang pokok, Rabb (Pencipta, Yang memelihara dan Mengembangkan), Rahman (Maha Pemurah), Rahim (Maha Penyayang) dan Maliki Yaum-id-Din (Pemilik Hari Pembalasan) mengandung arti bahwa sesudah menjadikan manusia, Tuhan menganugerahinya kemampuan-kemampuan tabi’i (alami) terbaik, dan melengkapinya dengan bahan-bahan yang diperlukan untuk kemajuan jasmani, kemasyarakatan, akhlak dan rohani. Selanjutnya dia memberikan jaminan bahwa usaha dan upaya manusia itu akan diganjar sepenuhnya. Kemudian surah itu mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, yakni menyembah Tuhan dan mencapai qurb (kedekatan)-Nya dan bahwa ia senantiasa memerlukan pertolongan-Nya untuk melaksanakan tujuannya yang agung itu. Disebutkannya keempat sifat Tuhan itu diikuti oleh doa lengkap yang didalamnya terungkap sepenuhnya segala dorongan ruh manusia. Doa itu mengajarkan bahwa manusia senantiasa harus mencari dan memohon pertolongan Tuhan, agar Dia melengkapinya dengan sarana-sarana yang diperlukan olehnya, untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat. Tetapi karena manusia cenderung memperoleh kekuatan dan semangat dari teladan baik wujud-wujud mulia dan agung dari zaman lampau yang telah mencapai tujuan hidup mereka, maka ia diajari untuk berdoa, agar Tuhan membuka pula baginya jalan-jalan kemajuan akhlak dan rohani yang tak terbatas, seperti telah dibukakan bagi mereka itu. Akhirnya doa itu mengandung peringatan, bahwa jangan-jangan sesudah ia dibimbing kepada jalan lurus ia sesat dari jalan itu, lalu kehilangan tujuannya dan menjadi asing terhadap Khalik-nya. Ia diajari untuk selalu mawas diri dan senantiasa mencari perlindungan Tuhan terhadap kemungkinan jadi asing terhadap Tuhan. Itulah masalah yang dituangkan dalam beberapa ayat Al-Fatihah dan itulah masalah yang dibahas dengan sepenuhnya dan seluas-luasnya oleh Al-Qur’an, sambil menyebut contoh-contoh yang tiada tepermanai banyaknya, sebagai petunjuk bagi siapa yang membacanya.

Orang-orang mukmin dianjurkan agar sebelum membaca Al Qur’an untuk memohon perlindungan Tuhan terhadap syaitan :

“Maka apabila engkau hendak membaca Al Qur’an, maka mohonlah perlindungan Allah dari syaitan yang terkutuk” (16:99)

Perlindungan dan penjagaan itu berarti (1) bahwa jangan ada kejahatan menimpa kita; (2) bahwa jangan ada kebaikan terlepas dari kita, dan (3) bahwa sesudah kita mencapai kebaikan, kita tidak terjerumus kembali kedalam kejahatan. Doa yang diperintahkan untuk itu ialah : “Aku berlindung kepada Allah, dari syaitan yang terkutuk”, yang harus mendahului tiap-tiap pembacaan Al Qur’an.

Bab-bab Al Qur’an berjumlah 114 dan masing-masing disebut Surah. Kata Surah itu berarti : (1) pangkat atau kedudukan tinggi; (2) ciri atau tanda; (3) bangunan yang tinggi dan indah; (4) sesuatu yang lengkap dan sempurna (Aqrab dan Qurthubi). Bab-bab Al Qur’an disebut surah karena (a) dengan membacanya, martabat orang terangkat dan dengan perantaraannya ia mencapai kemuliaan; (b) nama-nama Surah berlaku sebagai tanda pembukaan dan penutupan berbagai masalah yang dibahas dalam Al Qur’an; (c) Surah-surah itu masing-masing laksana bangunan rohani yang mulia dan; (d) tiap-tiap Surah berisikan tema yang sempurna. Nama surah untuk pembagian demikian telah dipergunakan dalam Al Qur’an sendiri (2 : 24 dan 24 : 2). Nama ini dipakai juga didalam hadits. Rasulullah s.a.w. bersabda “baru saja sebuah Surah telah diwahyukan kepadaku dan bunyinya sebagai berikut” (Muslim). Dari itu jelaslah, bahwa nama Surah untuk bagian-bagian Al Qur’an telah biasa dipakai sejak permulaan Islam dan bukan ciptaan baru yang diadakan dikemudian hari.

1. aAku baca dengan1 nama2 Allah3, سْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Maha Pemurah, Maha Penyayang4.



aDitempatkan dipermulaan tiap surah kecuali surah 9; juga dalam 27:31. Lihat juga 96:2.



1. Ba’ itu kata depan yang dipakai untuk menyatakan beberapa arti dan arti yang lebih tepat di sini, ialah “dengan”. Maka kata majemuk bism itu akan berarti “dengan nama”. Menurut kebiasaan orang Arab, kata iqra’ atau aqra’u atau naqra’u atau isyra’ atau asyra’u atau nasyra’u harus dianggap ada tercantum sebelum bismillah, sutau ungkapan dengan arti “mulailah dengan nama Allah” atau “bacalah dengan nama Allah” atau “aku atau kami mulai dengan nama Allah”. Dalam terjemahan ini ucapan bismillah diartikan “dengan nama Allah”, yang merupakan bentuk lazim (Lane).

2. Ism mengandung arti: nama atau sifat (Aqrab). Di sini kata itu dipakai dalam kedua pengertian tersebut. Kata itu menunjuk kepada Allah, nama wujud Tuhan; dan kepada Ar-Rahman (Maha pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), keduanya nama sifat Tuhan.

3. Allah itu nama Dzat Maha Agung, Pemilik Tunggal semua sifat kesempurnaan dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa arab, kata Allah itu tidak pernah dipakai untuk benda atau zat lain apapun. Tiada bahasa lain memiliki nama tertentu atau khusus untuk Dzat Yang Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain, semuanya nama-petunjuk-sifat nama pemberian (pelukisan) dan seringkali dipakai dalam bentuk jamak; akan tetapi, kata “Allah” tidak pernah dipakai dalam bentuk jamak. Kata Allah itu “ism dzat”, tidak “musytak”, tidak diambil dari kata lain, dan tidak pernah dipakau sebagai keterangan atau sifat. Karena tiada kata lain yang sepadan, maka nama “Allah” dipergunakan di seluruh terjemahan ayat-ayat Al Qur’an. Pandangan ini didukung didukung oleh para alim bahasa Arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat, kata “Allah” itu nama wujud bagi Dzat yang wajib ada-Nya menurut Dzat-Nya sendiri, memiliki segala sifat kesempurnaan, dan huruf al adalah tidak terpisahkan dari kata itu (Lane).

4. Ar-Rahman (Maha Pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) keduanya berasal dari akar yang sama. Rahima artinya, ia telah menampakkan kasih-sayang; ia ramah dan baik; ia memaafkan, mengampuni. Kata Rahmah menggabungkan arti riqqah, ialah “kehalusan” dan ihsan, ialah “kebaikan”, “kebajikan” (Mufradat). Ar-Rahman dalam wazan (ukuran) fa’lan, dan Ar-Rahim dalam ukuran fa’il. Menurut kaedah tata bahasa Arab, makin banyak jumlah huruf ditambahkan pada akar kata, makin luas dan mendalam pula artinya (Kasysyaf). Ukuran fa’lan membawa arti kepenuhan dan keluasaan, sedang ukuran fa’il menunjuk kepada arti ulangan dan pemberian ganjaran dengan kemurahan hati kepada mereka yang layak menerimanya (Muhith). Jadi, di mana kata Ar-Rahman menunjukkan “kasih sayang meliputi alam semesta”, kata Ar-Rahim berarti “kasih sayang yang ruang lingkupnya terbatas, tetapi berualang-ulang ditampakkan”. Mengingat arti-arti di atas, Ar-Rahman itu Dzat Yang menampakkan kasih sayang dengan cuma-cuma dan meluas kepada semua makhluk tanpa mempertimbangkan usaha atau amal; dan Ar-Rahim itu Dzat Yang menampakkan kasih sayang sebagai imbalan atas amal perbuatan manusia, tetapi menampakkannya dengan murah dan berulang-ulang.

Kata Ar-Rahman hanya dipakai untuk Tuhan, sedang Ar-Rahim dipakai pula untuk manusia. Ar-Rahman tidak hanya meliputi orang-orang mukmin dan kafir saja, tetapi juga seluruh makhluk. Ar-Rahim terutama tertuju kepada orang-orang mukmin saja. Menurut sabda Rasulullah s.a.w., sifat Ar-Rahman umumnya bertalian dengan kehidupan di dunia ini, sedang sifat Ar-Rahim umumnya bertalian dengan kehidupan yang akan datang (Muhith). Artinya, karena dunia ini pada umumnya adalah dunia perbuatan, dan karena alam akhirat itu suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa, maka sifat Tuhan Ar-Rahman menganugerahi manusia alat dan bahan, untuk melaksanakan pekerjaannya dalam kehidupan di dunia ini, dan Sifat Tuhan Ar-Rahim mendatangkan hasil dalam kehidupan yang akan datang. Segala benda yang kita perlukan dan atas itu kehidupan kita bergantung adalah semata-mata karunia Illahi dan sudah tersedia untuk kita, sebelum kita berbuat sesuatu yang menyebabkan kita layak menerimanya, atau bahkan sebelum kita dilahirkan; sedang karunia yang tersedia untuk kita dalam kehidupan yang-akan-datang, akan dianugerahkan kepada kita sebagai ganjaran atas amal perbuatan kita. Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahman itu Pemberi Karunia yang mendahului kelahiran kita, sedang Ar-Rahim itu Pemberi Nikmat-nikmat yang mengikuti amal perbuatan kita sebagai ganjarannya.

Bismillah-ir-Rahman-ir-Rahim adalah ayat pertama tiap-tiap Surah Al Qur’an, kecuali Al Bara’ah (At-Taubah) yang sebenarnya bukan Surah yang berdiri sendiri, melainkan lanjutan Surah Al-Anfal. Ada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang maksudnya, bila sesuatu Surah-baru diwahyukan, biasanya dimulai dengan bismillah, dan tanpa bismillah, Rasulullah s.a.w. tidak mengetahui bahwa Surah baru telah dimulai (Daud). Hadits ini menampakkan bahwa (1) bismillah itu bagian Al Qur’an dan bukan suatu tambahan, (2) bahwa surah Bara’ah itu, bukan Surah yang berdiri sendiri. Hadits itu menolak pula kepercayaan yang dikemukakan oleh sementara orang bahwa, bismillah hanya merupakan bagian Surah Al-Fatihah saja dan bukan bagian semua Surah Al Qur’an. Selanjutnya, ada riwayat Rasulullah s.a.w. pernah bersabda bahwa, ayat bismillah itu bagian semua Surah Al Qur’an (Bukhari dan Quthni). Ditempatkannya bismillah pada permulaan tiap-tiap Surah mempunyai arti seperti berikut : Al Qur’an itu khazanah ilmu Ilahi yang tidak dapat disentuh tanpa karunia khusus dari Tuhan, “Tiada orang boleh menyentuhnya, kecuali mereka yang telah disucikan” (56:80). Jadi bismillah telah ditempatkan pada permulaan tiap Surah untuk memperingatkan orang Muslim bahwa, untuk dapat masuk ke dalam Khazanah ilmu Ilahi yang termuat dalam Al Qur’an; dan untuk mendapat manfaat faedah darinya ia hendaknya mendekatinya bukan saja dengan hati yang suci, melainkan ia harus pula senantiasa mohon pertolongan Tuhan. Ayat bismillah itu, mempunyai pula tujuan penting yang lain. Ayat itu ialah kunci bagi arti dan maksud tiap-tiap Surah, karena segala persoalan mengenai urusan akhlak dan rohani, dengan satu atau lain cara, ada pertaliannya dengan dua Sifat Ilahi yang pokok, yaitu Rahmaniyah (Kemurahan) dan Rahimiyah (Kasih-Sayang). Jadi tiap-tiap Surah pada hakikatnya, merupakan uraian terperinci dari beberapa segi Sifat-sifat Ilahi yang tersebut dalam ayat ini. Ada tuduhan bahwa kalimah bismillah, itu diambil dari kitab-kitab suci sebelum Al Qur’an. Kalau Sale mengatakan bahwa kalimah itu diambil dari Zend Avesta, maka Rodwell berpendapat bahwa, orang-orang Arab sebelum Islam mengambilnya dari orang-orang Yahudi, dan kemudian dimasukkan ke dalam Al Qur’an. Kedua paham itu nyata sekali salah. Pertama, tidak pernah dida’wakan oleh orang-orang Islam bahwa, kalimah itu dalam bentuk ini atau sebangsanya tidak dikenal sebelum Al Qur’an diwahyukan. Kedua, keliru sekali mengemukakan sebagai bukti bahwa, karena kalimah itu dalam bentuk yang sama atau serupa kadang-kadang dipakai oleh orang-orang Arab sebelum diwahyukan dalam Al Qur’an, maka kalimah itu tidak mungkin asalnya dari Tuhan. Sebenarnya Al Qur’an sendiri menegaskan bahwa, Nabi Sulaiman a.s. memakai kalimah itu dalam suratnya kepada Ratu Saba (27:31). Apa yang dida’wakan oleh orang-orang Islam dan da’wa tersebut tidak pernah ada yang membantah, ialah bahwa, diantara Kitab-kitab suci, Al Qur’an adalah yang pertama kalinya memakai kalimah itu dengan caranya sendiri. Pula keliru sekali mengatakan bahwa, kalimah itu sudah lazim di antara orang-orang Arab sebelum Islam, sebab kenyataan yang sudah diketahui ialah bahwa, orang-orang Arab mempunyai rasa keseganan menggunakan kata Ar-Rahman sebagai panggilan untuk Tuhan. Pula, jika kalimah demikian dikenal sebelumnya, maka hal itu malah mendukung kebenaran ajaran Al Qur’an bahwa, tiada satu kaum pun yang kepadanya tidak pernah diutus seorang Pemberi Ingat (35:25), dan juga bahwa, Al Qur’an itu adalah khazanah semua kebenaran yang kekal dan termaktub dalam Kitab-kitab Suci sebelumnya (98:5). Al Qur’an tentu menambah lebih banyak lagi dan apapun yang diambil alihnya, Al Qur’an memperbaiki bentuk atau pemakaiannya, atau memperbaiki kedua-duanya.



2. aSegala5 puji5A hanya bagi Allah, الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tuhan6 semesta alam6A,



a6 : 2; 6 : 46; 10 : 11; 18 : 2; 29 : 64; 30 : 19; 31 : 26; 34 : 2; 35 : 2; 37 : 183; 39 : 76; 45 : 37.



5. Dalam bahasa Arab al itu kurang lebih sama artinya dengan kata “the” dalam bahasa Inggris. Kata al dipergunakan untuk menunjukkan keluasan yang berarti, meliputi semua segi atau jenis sesuatu pokok, atau untuk melukiskan kesempurnaan, yang pula suatu segi keluasan oleh karena meliputi semua tingkat dan derajat. Al dipakai juga untuk menyatakan sesuatu yang telahdisebut atau suatu pengertian atau konsep yang ada dalam pikiran.

5A. Dalam bahasa Arab ada dua kata mada dan hamd, dipakai dalam arti pujian atau syukur; tetapi kalau maha itu mungkin palsu, hamd itu senantiasa benar. Pula madah dapat dipakai mengenai perbuatan baik yang tidak dikuasai oleh pelakunya; tetapi hamd hanya dipakai mengenai perbuatan yang dilakukan dengan kerelaan hati dan dengan kemauan sendiri (Mufradat). Hamd mengandung pula arti pengaguman, penyanjungan, dan penghormatan terhadap yang dituju oleh pujian itu; dan kerendahan, kehinaan serta kepatuhan orang yang memberi pujian (Lane). Jadi Hamd itu kata yang paling tepat dipakai disini, untuk maksud mengutarakan kebaikan, dan puji-pujian yang sungguh wajar lagi layak dan sebagai sanjungan akan kemuliaan Tuhan. Menurut kebiasaan, kata hamd kemudian mengandung khusus ditujukan kepada Tuhan.

6. Kata kerja rabba berarti, ia mengelola urusan itu; ia memperbanyak, mengembangkan, memperbaiki, dan melengkapkan urusan itu; ia memelihara dan menjaga. Jadi rabb berarti, (a) Tuhan, Yang Dipertuan, Khalik (Yang Menciptakan); (b) Wujud Yang memelihara dan mengembangkan; (c) Wujud Yang menyempurnakan, dengan cara setingkat demi setingkat (Mufradat dan Lane). Dan jika dipakai dalam rangkaian dengan kata lain, kata itu dapat dipakai untuk orang atau wujud selain Tuhan.

6A. Al-‘alamin itu jamak dari al-’alam berasal dari akar kata ‘ilm yang berarti “mengetahui”. Kata itu bukan saja telah dikenakan kepada semua wujud atau benda yang dengan sarana itu, orang dapat mengetahui Sang Pencipta (Aqrab). Kata itu dikenakan bukan saja kepada segala macam wujud atau benda yang dijadikan, tetapi juga kepada golongan-golongannya secara kolektif, sehingga orang berkata ‘alamul-ins, artinya: alam manusia atau ‘alam-ul-hayawan, ialah alam binatang. Kata al-‘alamin tidak hanya dipakai untuk menyebut wujud-wujud berakal – manusia dan malaikat – saja. Al Qur’an mengenakannya kepada semua benda yang diciptakan (26 : 24-29 dan 41 : 10). Akan tetapi, tentu saja kadang-kadang kata itu, dipakai dalam arti yang terbatas (2 : 123). Di sini kata itu dipakai dalam arti yang seluas-luasnya dan mengandung arti “segala sesuatu yang ada selain Allah”, ialah benda-benda berjiwa dan tidak berjiwa dan mencakup juga benda-benda langit – matahari, bulan, bintang, dan sebagainya.

Ungkapan “Segala puji bagi Allah” adalah lebih luas dan lebih mendalam artinya daripada “Aku memuji Allah”, sebab manusia hanya dapat memuji Tuhan menurut pengetahuannya; tetapi, anak kalimat “Segala puji bagi Allah” meliputi bukan saja puji-pujian yang diketahui manusia, tetapi juga puji-pujian yang tidak diketahuinya. Tuhan layak mendapat puji-pujian setiap waktu, terlepas dari pengetahuan atau kesadaran manusia yang tidak sempurna. Tambahan juga, kata al-hamd itu masdar, dan karena itu dapat diartikan kedua-duanya sebagai pokok kalimat atau sebagai tujuan kalimat. Diartikan sebagai pokok, Al-hamdu lillahi berarti hanyalah Tuhan yang berhak memberikan pujian sejati dan tiap-tiap macam pujian yang sempurna hanya layak bagi Tuhan semata-mata. Untuk huruf al lihat 5.

Ayait ini menunjuk kepada hukum evolusi di dunia, artinya bahwa segala sesuatu mengalami perkembangan dan bahwa perkembangan itu terus-menerus dan terlaksana secara bertahap. Rabb itu Wujud Yang membuat segala sesuatu tumbuh dan berkembang, setingkat demi setingkat. Ayat itu menjelaskan juga bahwa prinsip evolusi itu tidak bertentangan dengan kepercayaan kepada Tuhan. Tetapi proses evolusi yang disebut di sini, tidak sama dengan teori evolusi seperti yang biasa diartikan. Kata-kata itu dipergunakan dalam arti umum. Selanjutnya, ayat ini menunjuk kepada kenyataan bahwa, manusia dijadikan untuk kemajuan tak terbatas, sebab ungkapan Rabb-ul-’alamin itu mengandung arti bahwa, Tuhan mengembangkan segala sesuatu dari tingkatan rendah kepada yang lebih tinggi dan hal itu hanya mungkin jika tiap-tiap tingkatan itu diikuti oleh tingkatan lain, dalam proses yang tiada henti-hentinya.

3. aMaha Pemurah. bMaha الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ

Penyayang7.

4. cPemilik8 dHari9 مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Pembalasan10.



a25 : 61; 26 : 6; 41 : 3; 55 : 2; 59 : 23. b33 : 44; 36 : 59. c48 : 15. d51 : 13; 74 : 47; 82 : 18, 19; 83 : 7



7. Dalam ungkapan bismillah, sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim berlaku sebagai kunci arti seluruh Surah. Sifat-sifat itu disebut di sini memenuhi satu tujuan tambahan. Sifat-sifat itu dipakai di sini, sebagai mata rantai antara Sifat Rabb-ul-‘alamin dan Maliki yaum-id-din.

8. Malik berarti majikan, atau orang yang mempunyai hak atas sesuatu dan memiliki kekuasaan, untuk memperlakukannya dengan sekehendaknya (Aqrab).

9. Yaum berarti waktu mutlak, hari mulai matahari terbit hingga terbenamnya; masa sekarang (Aqrab).

10. Din berarti pembalasan atau ganjaran; peradilan atau perhitungan; kekuasaan atau pemerintahan; kepatuhan; agama, dan sebagainya (Lane).

Keempat sifat Tuhan ialah, “Tuhan sekalian alam”, “Pemurah”, “Penyayang” dan “Pemilik Hari Pembalasan” adalah sifat-sifat pokok. Sifat-sifat lain hanya menjelaskan dan merupakan semacam tafsiran, tentang keempat sifat tadi yang laksana empat buah tiang di atasnya terletak singgasana Tuhan Yang Maha Kuasa. Urutan keempat sifat itu seperti dituturkan di atas memberikan penjelasan, bagaimana Tuhan menampakkan sifat-sifat-Nya kepada manusia. Sifat Rabb-ul-‘alamin (Tuhan sekalian alam) mengandung arti bahwa seiring dengan dijadikannya manusia, Tuhan menjadikan lingkungan yang diperlukan untuk kemajuan dan perkembangan rohaninya. Sifat Ar-Rahman (Pemurah) mulai berlaku sesudah itu dan dengan perantaraan itu. Tuhan seolah-olah menyerahkan kepada manusia sarana-sarana dan bahan-bahan yang diperlukan untuk kemajuan akhlak dan rohaninya. Dan jika manusia memakai alat-alat yang dianugerahkan kepadanya itu secara tepat, sifat Ar-Rahim mulai berlaku untuk mengganjar amalnya. Yang terakhir sekali, sifat Maliki yaum-id-din (Pemilik Hari Pembalasan) mempertunjukkan hasil terakhir dan kolektif amal perbuatan manusia. Dengan demikian, pelaksanaan pembalasan mencapai kesempurnaan. Sungguhpun perhitungan terakhir dan sempurna akan terjadi pada Hari Pembalasan, proses pembalasan itu terus berlaku, bahkan dalamkehidupan ini juga dengan perbedaan bahwa dalam kehidupan ini perbuatan manusia seringkali diadili dan diganjar oleh orang lain, para raja, para penguasa, dan sebagainya. Oleh karena itu, senantiasa ada kemungkinan adanya kekeliruan. Tetapi, pada Hari Pembalasan, kedaulatan Tuhan itu mandiri dan mutalk. Dan tindakan Pembalasan itu sendiri seluruhnya ada dalam kekuasan-Nya. Ketika itu tidak akan terdapat kesalahan, tiada hukuman yang tidak tepat, tiada ganjaran yang tidak adil. Pemakaian kata Malik (Pemilik) dimaksudkan pula untuk menunjuk kepada kenyataan bahwa Tuhan tidak seperti seorang hakim yang harus menjatuhkan keputusan benar sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan. Selaku Malik (Pemilik), Dia dapat mengampuni dan menampakkan kasih sayang-Nya, kapan saja dan dengan cara apapun sekehendak-Nya. Dengan mengambil din dalam arti “agama”, maka kata-kata “Yang mempunyai waktu agama” akan berarti bahwa, bila suatu agama sejati diturunkan, umat manusia menyaksikan suatu penjelmaan kekuasaan dan takdir Ilahi yang luar biasa, dan bila agama itu mundur, maka nampaknya seolah-olah sekalian alam berajalan secara mekanis, tanpa pengawasan atau pengaturan Sang Pencipta dan Al-Malik.

5. aHanya Engkau kami sembah11 إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

dan bhanya kepada Engkau kami

Mohon pertolongan12.



A11 : 3; 12 : 41; 16 : 37; 17 : 24; 41 : 38. b2 : 46, 154; 21 : 113



11. Ibadah berarti merendahkan diri, penyerahan diri, ketaatan, dan berbakti sepenuhnya. Ibadah mengandung pula arti, iman kepada Tauhid Ilahi dan pernyataan iman itu dengan perbuatan. Kata itu berarti juga, penerimaan kesan atau cap dari sesuatu. Dalam arti ini ibadah akan berarti, menerima kesan atau cap dari sifat-sifat Ilahi dan meresapkan serta mencerminkan sifat-sifat itu dalam dirinya sendiri.

12. Kata-kata Hanya Engkau kami sembah, telah ditempatkan sebelum kata-kata, hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan, untuk menunjukkan bahwa sesudah orang mengetahui kebesaran sifat-sifat Tuhan, maka dorongan pertama yang timbul dalam hatinya ialah beribadah kepada Dia. Pikiran untuk mohon pertolongan Tuhan, datang sesudah adanya dorongan untuk beribadah. Orang ingin beribadah kepada Tuhan, tetapi ia menyadari bahwa untuk berbuat demikian, ia memerlukan pertolongan Tuhan. Pemakaian bentuk jamak dalam ayat ini mengarahkan perhatian kita kepada dua pokok yang sangat penting yaitu (a) bahwa manusia tidak hidup seorang diri di bumi ini, melainkan ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat sekitarnya. Maka ia hendaknya berusaha jangan berjalan sendiri, tetapi harus menarik orang-orang lain juga bersama dia melangkah di jalan Tuhan. (b) bahwa selama manusia tidak mengubah lingkungannya, ia belum aman.

Layak dicatat pula, bahwa Tuhan dalam keempat ayat pertama disebut sebagai orang ketiga, tetapi dalam ayat ini tiba-tiba Dia dipanggil dalam bentuk orang kedua. Renungan atas keempat sifat Ilahi itu, membangkitkan dalam diri manusia keinginan yang begitu tak tertahankan untuk dapat melihat Khalik-Nya, dan begitu mendalam dan kuat hasratnya untuk mempersembahkan pengabdian sepenuh hatinya kepada-Nya, sehingga untuk memenuhi hasrat jiwanya itu, bentuk orang ketiga yang dipakai pada keempat ayat permulaan, telah diubah menjadi bentuk orang kedua dalam ayat ini.

6. Tunjukilah kami pada ajalan اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ

Yang lurus13;

7. Jalan borang-orang yang telah صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ

Engkau beri nikmat atas mereka14, غَيرِ المَغضُوبِ عَلَي

Bukan atas mereka cyang dimurkai وَلاَ الضَّالِّينَ

Dan bukan pula dyang sesat15.



a19 : 37; 36 : 62; 42 : 53, 54. b4 : 70; 5 : 21; 19 : 59. c2 : 62, 91; 3 : 113; 5 : 61, 79. d3 : 91; 5 : 78; 18 : 105.



13. Doa ini meliputi seluruh keperluan manusia, kebendaan dan rohani, untuk masa ini dan masa yang akan datang. Orang mukmin berdoa agar kepadanya ditunjukkan jalan lurus, jalan terpendek. Kadang-kadang kepada manusia diperlihatkan jalan yang benar dan lurus itu, tetapi ia tidak dipimpin kepadanya, atau jika pun dibimbing ke sana, ia tidak bersitetap pada jalan itu dan tidak mengikutinya hingga akhir. Doa itu menghendaki, agar orang beriman tidak merasa puas dengan hanya diperlihatkan kepadanya suatu jalan, atau juga dengan dibimbing pada jalan itu, tetapi ia harus senantiasa terus menerus mengikutinya hingga mencapai tujuannya, dan inilah makna hidayah, yang berarti menunjukkan jalan yang lurus (90 : 11), membimbing ke jalan yang lurus (29 : 70) dan membuat orang mengikuti jalan yang lurus (7 : 44) (Mufradat dan Baqa). Pada hakikatnya, manusia memerlukan pertolongan Tuhan pada tiap-tiap langkah dan pada setiap saat, dan sangat perlu sekali baginya, agar ia senantiasa mengajukan kepada Tuhan permohonan yang terkandung dalam ayat ini. Maka oleh karena itu, doa terus- menerus itu memang sangat perlu. Selama kita mempunyai keperluan-keperluan yang belum kesampaian dan keperluan-keperluan yang belum terpenuhi serta tujuan-tujuan yang belum tercapai, kita selamanya memerlukan doa.

14. Orang mukmin sejati tidak akan puas hanya dengan dipimpin ke jalan yang lurus atau dengan melakukan beberapa amal saleh tertentu saja. Ia menempatkan tujuannya jauh lebih tinggi dan berusaha mencapai kedudukan saat Tuhan mulai menganugerahkan karunia-karunia istimewa kepada hamba-hamba-Nya. Ia melihat kepada contoh-contoh karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada para pilihan Tuhan, lalu memperoleh dorongan semangat dari mereka. Ia malahan tidak berhenti sampai disitu saja, tetapi ia berusaha keras dan berdoa agar supaya digolongkan diantara “orang-orang yang telah mendapat nikmat” dan menjadi seorang dari antara mereka. Orang-orang yang telah mendapat nikmat itu, telah disebut dalam 4:60. Doa itu umum dan tidak untuk suatu karunia tertentu. Orang mukmin bermohon kepada Tuhan agar dianugerahi karunia rohani yang tertinggi kepadanya, dan terserah kepada Tuhan untuk menganugerahkan kepadanya karunia yang dianggap-Nya pantas dan layak bagi orang mukmin yang menerimanya.

15. Surat Al-Fatihah membuka suatu tertib indah dalam susunan kata-katanya dan kalimat-kalimatnya. Surah ini dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama. Separuhnya yang pertama bertalian dengan Tuhan, separuhnya yang kedua dengan manusia, dan tiap bagian bertalian satu sama lain dengan cara yang sangat menarik. Berkenaan dengan nama “Allah” yang menunjuk kepada Dzat Yang memiliki segala sifat mulia yang tersebut dalam bagian pertama. Kemudian kita dapati kata-kata, hanya Engkau kami sembah dalam bagian yang kedua. Segera setelah seorang abid (yang melakukan ibadah) ingat bahwa Tuhan bebas dari segala cacat dan kekurangan serta memiliki segala sifat sempurna, maka seruan hanya Engkau kami sembah dengan sendirinya timbul dari hati sanubarinya. Dan sesuai dengan sifat “Tuhan semesta alam” tercantum kata-kata kepada Engkau kami mohon pertolongan dalam bagian kedua. Setelah orang Islam mengetahui bahwa Tuhan itu Khalik dan Pemelihara sekalian alam dan Sumber dari segala kemajuan, ia segera berlindung kepada Tuhan sambil berkata, kepada Engkau kami mohon pertolongan. Kemudian, sesuai dengan sifat “Ar-Rahman”, yakni Pemberi karunia tak terbilang dan Pemberi dengan Cuma-Cuma segala keperluan kita, tercantum kata-kata, Tunjukilah kami pada jalan yang lurus dalam bagian kedua; sebab, karunia terbesar tersedia bagi manusia ialah petunjuk yang disediakan Tuhan baginya, dengan menurunkan wahyu dengan perantaraan rasul-rasul-Nya. Sesuai dengan sifat “Ar-Rahim”, yakni Pemberi ganjaran terbaik untuk amal perbuatan manusia dalam bagian pertama, kita jumpai kata-kata, Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dalam bagian kedua, sebab memang Ar-Rahim lah yang menganugerahkan nikmat-nikmat yang layak bagi hamba-hamba-Nya yang khas. Lagi, sesuai dengan “Pemilik hari pembalasan” kita dapatkan Bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula yang sesat. Bila terlintas dalam pikiran manusia bahwa ia harus memberikan pertanggung jawaban atas amal perbuatannya, ia takut menemui kegagalan, maka dengan merenungkan sifat Pemilik Hari Pembalasan, ia mulai berdoa kepada Tuhan, supaya ia dipelihara dari murka-Nya dan dari kesesatan dari jalan lurus.

Sifat khusus lainnya pada doa yang terkandung dalam Surah ini ialah doa itu menghimbau naluri-naluri manusia yang dalam, dengan cara yang wajar sekali. Dalam fitrat manusia ada dua pendorong yang merangsangnya untuk menyerahkan diri, ialah cinta dan takut. Sebagian orang tergerak oleh cinta, sedang yang lain terdorong oleh takut. Dorongan cinta memang lebih mulia, akan tetapi mungkin ada dan sungguh memang ada orang-orang yang hatinya tidak tergerak oleh cinta. Mereka hanya menyerah karena pengaruh takut. Dalam Al-Fatihah, kedua pendorong manusia itu telah dihimbau. Mula-mula tampil sifat-sifat Ilahi yang membangkitkan cinta, “Pencipta dan Pemelihara sekalian alam”, “Maha Pemurah” dan “Maha Penyayang”. Kemudian segera mengikutinya “Pemilik Hari Pembalasan” yang memperingatkan manusia bahwa bila ia tidak memperbaiki tingkah-lakunya dan tidak menyambut cinta dengan baik, maka ia harus bersedia mempertanggung jawabkan amal perbuatannya di hadapan Tuhan. Dengan demikian, pendorong kepada “takut” dipergunakan berdampingan dengan pendorong kepada cinta. Tetapi, oleh karena kasih-sayang Tuhan itu jauh mengatasi sifat Murka-Nya, sifat inipun yang merupakan yang merupakan satu-satunya sifat pokok yang bertujuan membangkitkan takut, tidak dibiarkan tanpa menyebut kasih-sayang. Pada hakikaknya, disinipun kasih-sayang Tuhan mengatasi Murka-Nya, sebab telah terkandung juga dalam sifat ini bahwa kita tidak akan menghadap seorang Hakim, tetapi menghadap Tuhan Yang berkuasa mengampuni dan Yang hanya akan menyiksa bila siksaan itu sangat perlu sekali. Pendek kata, Al-Fatihah itu khazanah ilmu rohani yang menakjubkan. Al-Fatihah itu Surah pendek dengan tujuan ayat ringkas, tetapi Surah yang sungguh-sungguh merupakan tambang ilmu dan hikmah. Tepat sekali disebut “Ibu Kitab”, Al-Fatihah itu intisari dan pati Al Qur’an. Mulai dengan nama Allah, Sumber pokok pancaran segala karunia, rahmat dan berkat. Surah ini melanjutkan penuturan keempat sifat pokok Tuhan, yaitu (1) Yang menjadikan dan memelihara alam semesta; (2) Maha Pemurah Yang mengadakan jaminan untuk segala keperluan manusia, bahkan sebelum ia dilahirkan, dan tanpa suatu usaha apapun dari pihak manusia untuk memperolehnya; (3) Maha Penyayang, Yang menetapkan hasil sebaik mungkin amal perbuatan manusia dan Yang mengganjarnya dengan amat berlimpah-limpah; dan (4) Pemilik Hari Pembalasan; dihadapan-Nya, manusia harus mempertanggung jawabkan amal perbuatannya dan Yang akan menurunkan siksaan kepada si jahat, tetapi tidak akan berlaku terhadap makhluk-Nya semata-mata sebagai Hakim, melainkan sebagai Majikannya Yang melunakkan hukuman dengan kasih-sayang, dan Yang sangat cenderung mengampuni, kapan saja pengampunan akan membawa hasil yang baik. Itulah citra Tuhan Islam, seperti dikemukakan awal sekali Al Qur’an, mengenai Dzat Yang kekuasaan dan kedaulatan-Nya tak ada hingganya dan kasih-sayang serta kemurahan-Nya tiada batasnya. Kemudian datanglah pernyataan manusia bahwa, mengingat Tuhan nya itu Pemilik semua sifat agung dan luhur, malah ia bersedia dan malah berhasrat menyembah Dia dan menjatuhkan diri pada kaki-Nya dalam pengabdian yang sempurna; tetapi Tuhan mengetahui bahwa manusia itu lemah, mudah keliru dan tergelincir, maka Tuhan mendorong hamba-hamba-Nya, agar mohon pertolongan-Nya pada setiap derap langkah majunya dan setiap keperluan yang dihadapinya. Akhirnya datanglah doa yang padat dan berjangkauan jauh, suatu doa yang di dalamnya manusia bermohon kepada Khalik nya, untuk membimbingnya ke jalan yang lurus dalam segala urusan rohani dan duniawi, baik mengenai keperluan-keperluannya saat ini maupun dimasa depan. Ia berdoa kepada Tuhan agar ia bukan saja dapat menghadapi segala cobaan dan ujian dengan tabah, tetapi juga selaku “orang-orang terpilih”, menghadapinya dengan cara yang sebaik-baiknya dan menjadi penerima karunia dan berkat Tuhan yang paling banyak dan paling besar, agar ia selama-lamanya terus melangkah maju pada jalan yang lurus, maju terus semakin dekat lagi kepada Tuhan dan Junjungan- nya, tanpa terantuk-antuk diperjalannya seperti telah terjadi pada banyak dari antara mereka yang hidup dimasa lampau. Itulah pokok Surah pembukaan Al Qur’an, yang senantiasa diulangi dengan suatu bentuk atau cara lain, dalam seluruh tubuh Kitab Suci itu.

Tidak ada komentar: